All Chapters of Terikat Kontrak Pernikahan CEO Posesif: Chapter 161 - Chapter 170

Aruna menggenggam erat tasnya. Hatinya penuh konflik.“Kalau aku masuk… semua yang kuusahakan bakal sia-sia. Tapi kalau aku pulang… aku harus hadapi semua tatapan, semua gosip, semua rasa sakit itu lagi.”Air matanya jatuh. Ia berdiri di ambang batas satu langkah bisa mengembalikannya ke jurang, satu langkah lagi bisa membawanya pulang.Saat ia hampir melangkah masuk, sebuah suara memanggil dari jauh.“Aruna!”Tubuhnya menegang. Ia berbalik dan bayangan seseorang muncul di ujung jalan, berlari ke arahnya.Hujan turun makin deras, menetes di rambut dan wajah Aruna, memburamkan pandangannya.Pintu besi di hadapannya bergetar oleh dentuman musik—seolah memanggil, menunggu hanya satu langkah untuk kembali menelannya.Penjaga pintu mengangkat alis. “Jadi, kau masuk atau tidak?”Aruna terdiam. Tangannya gemetar di gagang pintu.Suara di kepalanya makin riuh, “Masuk. Lupakan semua. Kau

Di kantin, saat mereka berjalan bersama, Raska muncul, mencoba menyapa Aruna. Aruna menoleh sejenak, tersenyum sopan, tapi tetap menjaga jarak. Ezra menangkap interaksi itu, hatinya sedikit panas bukan marah, tapi cemburu tipis yang kini lebih sehat, lebih manusiawi. Ia menarik tangan Aruna sebentar, sekadar menyampaikan, aku di sini. Aruna menatapnya, dan untuk pertama kalinya ia merasa lega karena perasaan mereka tidak lagi terguncang oleh bayangan masa lalu.Sore hari, latihan klub berlangsung. Aruna dan Ezra berdampingan, koordinasi mereka semakin mulus. Setiap gerakan, setiap aba-aba, bahkan senyum kecil saat salah satu dari mereka melakukan kesalahan semua terasa seperti ritual penyembuhan. Teman-teman mulai menyadari perubahan ini: ada chemistry yang stabil, kekompakan yang tidak bisa dipalsukan.Di sela latihan, Nadira mendekat, membawa berkas yang mungkin bisa memicu ketegangan lama. Namun Aruna menyambutnya dengan tenang, menatap Ezra sekilas untuk mendap

Malam itu lebih gelap dari biasanya. Hanya lampu sorot dari gedung olahraga yang berkedip di kejauhan, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah basah akibat hujan sore tadi. Aruna berdiri di tengah halaman, memeluk tubuhnya sendiri, napasnya terengah-engah. Nadira berada beberapa langkah di sampingnya, tangan masih gemetar meski mencoba menenangkan diri. Ezra berada sedikit di depan, matanya menelusuri setiap sudut, siap menghadapi ancaman yang bisa muncul dari mana saja.Suara radio samar dari dalam tas Nadira memecah keheningan: “Misi terakhir dimulai. Target: uji batas psikologis dan emosional kalian.”Aruna menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. “Apa maksud mereka dengan uji psikologis…?”Nadira menggigit bibirnya, menatap Aruna. “Ini tidak hanya tentang fisik… mereka tahu kelemahan kita. Mereka akan mencoba memisahkan kita.”Ezra menekankan tangan mereka bertiga. “Apa pun yang terjadi… kita harus tetap bersama. Jangan biarkan merek

Ketika giliran band Aruna naik, sorak-sorai bergema. Lampu sorot jatuh tepat padanya. Jari-jarinya menekan kontrol DJ dan keyboard dengan ritme tegas. Musiknya mengalun campuran beat elektronik dan harmoni yang membius seluruh penonton. Sesaat, gosip seakan menguap. Semua hanya fokus pada sorot mata Aruna yang penuh percaya diri. Nadira di antara kerumunan berteriak keras, “WOOOOO! ITU SAHABATKU!!” Ezra menatap dari sisi panggung. Ada rasa bangga yang sulit ia sembunyikan. Untuk beberapa menit, Aruna bukan gadis yang dipenuhi gosip ia adalah bintang. Setelah penampilan musik selesai, lapangan berubah jadi suasana romantis. Api unggun besar menyala di tengah, kembang api mulai menghiasi langit. Pasangan-pasangan mulai berkumpul, berbagi momen. Aruna berjalan ke tepi lapangan, masih berusaha menenangkan debar jantungnya. Ezra mendekat, wajahnya sedikit lembut berbeda dari biasanya. “Kamu luar bia

Raska menunduk sejenak, sorot matanya meredup. “Aku juga pengen jadi orang itu…” katanya pelan. Lorong itu jadi arena perang emosi tiga hati, Ezra, dengan cintanya yang cemburu dan rasa takut kehilangan. Raska, dengan ketulusan yang tak pernah padam. Aruna, dengan luka dan kebingungan yang membuatnya hampir runtuh. Festival di luar masih ramai dengan cahaya dan suara tawa, tapi di sini, dunia seolah berhenti. Aruna harus memilih atau mungkin, belum siap memilih. Keheningan yang menyesakkan. Hanya suara festival dari kejauhan yang masuk lewat jendela, kontras dengan atmosfer tegang di lorong itu. Ezra dan Raska berdiri saling berhadapan, jarak tinggal beberapa langkah. Aruna berada di tengah, tapi tubuhnya gemetar, jelas tak sanggup lagi jadi penengah. Ezra akhirnya bersuara, tajam, menusuk. “Kamu pikir kamu ngerti Aruna? Kamu pik