Raska menarik napas panjang, menatap lurus ke matanya. “Karena aku nggak tahan lihat kamu dihancurkan. Dari dulu… aku selalu berharap kamu lihat aku bukan cuma sebagai teman.”
Aruna terkejut. Kata-kata itu menggantung di udara, membuat dadanya sesak.Raska tersenyum tipis, getir, lalu menunduk sedikit. “Tapi aku tahu… kamu nggak pernah benar-benar melihatku begitu. Masalahnya, aku nggak bisa berhenti peduli.”Aruna merasakan matanya panas. Ia berusaha bicara, tapi kata-kata tercekat. Akhirnya, ia hanya berbisik pelan, hampir tak terdengar, “Raska… aku nggak tahu harus bilang apa.”Raska mendekat, jaraknya tinggal beberapa jengkal. Tangannya sempat terulur, lalu berhenti di udara antara ingin menyentuh pipi Aruna atau menahan diri.“Kamu nggak perlu bilang apa-apa,” katanya lirih. “Aku cuma pengen kamu tahu… kamu nggak sendirian.”Aruna menutup mata sejenak, merasakan beratnya beban di bahunya sedikit berkurang hanya dengan kalimaEzra berdiri di belakang Aruna, memandu tangannya untuk melakukan tembakan. Bola masuk mulus.“WOOOOOO!!!”Aruna langsung menunduk, wajahnya merah.Teman sekelas: “Wihhh, couple goals banget!” “Bukan! Kami bukan…” tapi suaranya tenggelam oleh sorakan. Ezra cuma senyum tipis, jelas sengaja bikin Aruna makin salah tingkah.Nadira menyeret Aruna ke warung ramen baru. Ternyata Ezra ikut nongol. “Kok kamu ada di sini?”“Aruna belum makan. Aku ikut.”Aruna pun protes, “Aku bisa makan sendiri!”“Bisa, tapi kamu sering lupa sarapan. Jadi aku nggak percaya.”Saat ramen datang, Aruna langsung meniup kuahnya dengan hati-hati.Ezra menyodorkan sendok, “Pakai ini, biar nggak belepotan.”“Ezra, aku bisa—” tapi ujung sumpitnya nyiprat kuah, kena pipinya.Ezra menghela napas, lalu dengan santai mengusap pipi Aruna pakai tisu.Aruna membeku. Nadira yang duduk di seberang menatap dengan mata berbinar.
“Yang nilainya paling tinggi kali ini… Ezra.”Semua siswa menoleh ke arahnya. Ezra yang biasanya dingin cuma mengangkat kertas jawabannya.Aruna berbisik sambil melirik ke Ezra, “Pamer banget sih.”Ezra tanpa menoleh, “Aku nggak pamer. Cuma fakta.”Aruna mengerucutkan bibir, “Nyebelin.”Beberapa teman langsung menggoda. “Eh Aruna, cocok banget ya kamu sama Ezra. Yang satu ranking satu, yang satu ranking dua.”Aruna refleks menepuk meja. “Bukan! Aku nggak… ya ampun, jangan asal ngomong.”Ezra tersenyum tipis, jelas menikmati reaksi Aruna yang panik.Aruna duduk dengan Nadira, mencoba menikmati makan siang. Ezra tiba-tiba datang membawa kotak bekal.“Aruna, makan ini.”“Eh? Aku sudah beli makanan, Ezra…”Ezra dengan santai berujar, “Yang itu penuh MSG. Makan punyaku lebih sehat.”Aruna bingung, sementara Nadira menahan tawa. “Astaga, Ezra kayak bapak-bapak cerewet.”Aruna pun malu, “Janga
Tepat saat itu, Raska datang sambil membawa beberapa buku. “Aruna, ini catatan tambahan kalau kamu mau. Bisa ngebantu buat ujian.”Aruna menerima dengan senyum tulus. “Makasih, Raska.”Ezra menatap Raska dengan wajah datar tapi tegang. “Nggak usah, Aruna udah cukup. Aku juga bisa bantu dia.”Raska hanya mengangkat alis sambil menahan tawa. “Santai, Ezra. Aku cuma kasih catatan.”Aruna bisa merasakan atmosfer dingin di antara keduanya. “Kalian ini… kayak anak kecil yang berebut mainan.”Ezra bersandar di kursi, tapi matanya tetap ke arah Raska. “Mainan? Bukan. Aku cuma nggak suka kalau ada orang yang sok peduli berlebihan.”Aruna menghela napas panjang. Dalam hatinya, meski kesal, ada rasa hangat yang tak bisa ia tolak Ezra benar-benar serius menjaga keberadaannya.Hari olahraga, kelas Aruna bermain basket. Raska kebetulan jadi kapten tim, dan ia sering memberi arahan pada Aruna.“Aruna, kamu di sayap kanan.
“Pagi, Runa,” ucap Ezra sambil mengangkat tangan, wajahnya santai seolah tidak ada masalah dunia.Aruna menghela napas, menahan senyum. “Kenapa kamu ada di sini? Biasanya kamu telat lima menit.”Ezra mengedikkan bahu. “Ya… aku pikir, kalau aku telat, kamu bakal kepikiran. Jadi aku datang lebih cepat.”Aruna menunduk, menahan rona merah di pipinya. “Kamu ini… bikin orang salah paham terus.”Ezra terkekeh. “Yaudah, biar aku yang salah. Yang penting kamu nggak sendirian.”Mereka berjalan masuk bersama. Beberapa murid berbisik, sebagian menatap dengan rasa penasaran, bahkan iri. Tapi Aruna hanya menegakkan punggungnya, sementara Ezra dengan santainya menaruh tangan di saku dan tetap di sisi Aruna.Waktu istirahat, Aruna duduk bersama Nadira dan teman sekelas lainnya. Ezra tanpa ragu menaruh nampannya di sebelah Aruna.“Eh, Ezra… biasanya kamu duduk sama cowok-cowok,” celetuk salah satu teman mereka.Ezra dengan sant
Pagi itu, langit biru cerah, udara terasa lebih ringan meski gosip di sekolah belum benar-benar reda.Aruna datang ke gerbang sekolah lebih awal, tapi ternyata Ezra sudah menunggunya.“Pagi, Runa,” ucap Ezra sambil mengangkat tangan, wajahnya santai seolah tidak ada masalah dunia.Aruna menghela napas, menahan senyum. “Kenapa kamu ada di sini? Biasanya kamu telat lima menit.”Ezra mengedikkan bahu. “Ya… aku pikir, kalau aku telat, kamu bakal kepikiran. Jadi aku datang lebih cepat.”Aruna menunduk, menahan rona merah di pipinya. “Kamu ini… bikin orang salah paham terus.”Ezra terkekeh. “Yaudah, biar aku yang salah. Yang penting kamu nggak sendirian.”Mereka berjalan masuk bersama. Beberapa murid berbisik, sebagian menatap dengan rasa penasaran, bahkan iri. Tapi Aruna hanya menegakkan punggungnya, sementara Ezra dengan santainya menaruh tangan di saku dan tetap di sisi Aruna.Waktu istirahat, Aruna duduk bersama N
Kerumunan kembali gaduh antara yang kaget, ragu, ada yang masih menuduh. Tapi aura Aruna dan Ezra yang berdiri bersebelahan, saling menggenggam tangan di bawah cahaya api unggun dan kembang api terakhir, menciptakan momen yang begitu kuat.Beberapa siswa yang semula berteriak kini mulai diam. Ada yang saling berbisik, bingung, bahkan mulai meragukan gosip itu.Raska yang berdiri di samping, akhirnya maju setengah langkah. Dengan senyum tipis namun tegas, ia berkata:“Kalian semua tahu Aruna. Kalian lihat sendiri siapa dia di sini, setiap hari. Masa kalian rela percaya kebohongan murahan tanpa bukti lain?”Kata-kata itu makin memecah kebisuan.Aruna menunduk sebentar, air matanya jatuh tapi kali ini bukan karena putus asa, melainkan karena ia merasa kuat untuk pertama kalinya.“Aku tidak akan lari lagi. Tidak dari diriku sendiri, tidak dari mereka, dan tidak darinya…”Ia menggenggam tangan Ezra lebih erat, menatap api unggun y