All Chapters of Terjebak Obsesi Sang CEO: Chapter 121 - Chapter 130

Tatapan Lorenzo langsung menusuk pada Daren dan mata keduanya bertemu dalam pandangan yang penuh dengan kebencian. Lalu ia beralih menatap Thomas dan Karen. Mata gelap Lorenzo menatap tajam kedua pasang baya itu, menuntut penjelasan, tapi mereka semua diam seribu bahasa. Amarah mulai berkobar di dalam Lorenzo. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal. Suasana di ruang makan yang tadinya hangat kini berubah mencekam. Daren berdehem, ia dengan mudah bisa membaca bahasa tubuh Lorenzo yang mengancam mereka semua. "Ella," kata Daren dengan suara yang lembut dan protektif. "Tidak apa-apa, sayang. Biar aku yang bicara dengannya. Kau istirahatlah di kamarmu." “Kau yakin tidak apa-apa?” tanya Ella skeptis, sesekali ia melirik Lorenzo dengan waswas. "Tentu saja," balasnya. Ia mengusap kepala Ella membuat Lorenzo meradang karena Daren seolah sengaja menyentuh Ella untuk mengujinya. Ella mengangguk, kemudian berbalik melangkah ke kamarnya. Setelah Ella pergi, Daren melangkah men

Rasa penasaran terus menggerogoti jiwa Ella sejak semalam. Wajah Lorenzo tidak pernah lepas dari benaknya sejak pertemuan mereka semalam. Dan pagi ini, ia duduk tegak di depan laptopnya. Jari-jari lentiknya menari di atas keyboard mencari informasi personal tentang Lorenzo De Luca. Namun, semakin dalam ia menggali informasi tentang pria itu, semakin dalam pula kerutan di keningnya. Lorenzo De Luca, pria berusia tiga puluh empat tahun itu ternyata adalah CEO dari Luca Enterprises, sebuah perusahaan besar multiindustri di bidang manufaktur otomotif dan transportasi udara dengan jangkauan internasional. Perusaah itu telah memproduksi kendaraan mewah untuk kalangan elite dan memiliki satu maskapai yang cukup terkenal di berbagai kalangan. Setiap artikel yang ia baca hanya menampilkan citra positif dari profesinya, pencapaiannya, dan reputasi perusahaannya yang bersih. Tidak ada berita tentang kehidupan pribadinya atau bahkan keluarganya. Tidak ada gosip, tidak ada skandal, tidak a

"Sebaiknya kita menepi terlebih dahulu," celetuk Lorenzo dengan suara yang tegas. Ella mengerjap, kemudian melanjuh dari Lorenzo dengan canggung. Ia bergerak memasuki mobilnya dengan langkah yang lambat karena masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Ponselnya berdering, memaksanya untuk mencari benda yang terjatuh di bawah dashboard. Layar ponselnya menunjukkan nama ayahnya—Thomas. Matanya seketika mendelik teringat sesuatu. Laptop ayahnya! Ella menyisir rambutnya ke belakang hinga berantakan. Kalut menyerangnya, ia harus segara mengantarkan laptop Thomas. Namun, kini masalah baru menumpuk di atas masalah yang belum terselesaikan. Ella menarik napas dalam-dalam, ia memilih mengabaikan panggilan Thomas. Prioritas utamanya adalah menyelesaikan masalah di depannya terlebih dahulu. Setelah menepikan mobilnya, Ella Kembali menemui Lorenzo yang sedang bersandar di belakang mobil sport itu, dengan tangan terselip di saku celana. Pria itu tampak begitu tenang dan terkendali,

Lorenzo tersenyum geli, tapi tatannya mengandung cinta dan kerinduan mendalam. Inilah yang selalu ia kagumi dari Ella, kata-kata tajamnya, sikap menantangnya yang tidak pernah surut meski dalam keadaan apa pun. Bahkan setelah kehilangan ingatannya, jati diri Ella yang sesungguhnya tetap mengalir dalam darahnya. Sikapnya justru membuat Lorenzo terpesona lagi dan lagi. "Kau tidak tahu betapa menariknya sisi dirimu yang seperti ini," bisik Lorenzo, setiap kata yang keluar dari bibirnya mendebarkan hati Ella. "Bahkan tatapan membunuhmu pun terlihat begitu menawan." "Aku serius!" Ella langsung mengacungkan pisaunya dengan tangan yang sedikit bergetar. Sikap Lorenzo yang tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut terhadap ancamannya justru membuatnya frustasi. Lorenzo tersenyum menantang, ada kilat kenakalan dan kepercayaan diri di matanya yang gelap yang membuat Ella semakin geram. "Jika kau benar-benar ingin membunuhku, setidaknya biarkan aku mencicipi bibir manismu dulu seb

Ella menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, restoran yang sebelumnya dipenuhi hiruk-pikuk percakapan dan dentingan peralatan makan kini mulai sepi. Ia memperhatikan sekitarnya yang kini hanya ada dirinya dan pelayan yang sedang membereskan meja demi meja. Lima jam Daren menghilang entah ke mana meninggalkannya sendirian di restoran mewah yang baru pertama kali ia datangi, bahkan nama restorannya saja tidak bisa ia ucapkan dengan benar. Lima jam ia menunggu sendirian di sini tanpa kabar dari Daren. Jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan yang kesekian kalinya, berharap kali ini Daren akan membalas. Ia telah berulang kali menghubungi pria itu, telepon, pesan singkat, bahkan pesan suara, tapi sampai sekarang tidak ada respons apa pun dari Daren. Ella benar-benar frustasi dibuatnya. Ia menghela napas panjang, merasakan kegelisahan di dadanya semakin menumpuk. Keputusasaan mulai merambat dalam dadanya, menyebar