Semua Bab TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU: Bab 21 - Bab 30

Axel benar-benar tidak pulang semalaman, entah dimana dia tidur tadi malam, dia juga tidak mengabari aku. Terserah apa yang mau dia lakukan, aku tidak peduli! Itu adalah tekad yang aku tanamkan semenjak keluar dari apartemen. Namun, aku kembali bersikap munafik karena begitu sampai disekolah, aku menunggu ditempat parkir mobil. Bahkan dengan alasan tidak masuk akal apapun, aku tetap tidak bisa menemukan alasan wajar kenapa aku bisa berada diparkir mobil siswa kecuali menunggu Axel, aku ingin memastikan Axel baik-baik saja dan datang kesekolah, tidak membolos. "Papa Adipati mengatakan aku harus menjaga Axel seperti aku menjaga seorang adik ipar, jadi yang aku lakukan sekarang adalah memastikan adik ipar aku baik-baik saja," gumamku, meyakinkan diriku sendiri. "Bu Nadia sedang apa disini?" Sapa Carlo yang entah sejak kapan ada dibelakangku. "Sa-saya...," aku merutuki diriku sendiri yang tidak bisa menjawab dengan benar pertanyaan Carlo dan malah tergagap seperti orang bodoh. Te

"Kenapa Kak Nadia lama sekali?" Sapa Axel yang ternyata sudah menunggu dibar dapur sambil makan apel. Sekarang seakan menjadi rutinitas kita berdua untuk sarapan apel sebelum berangkat kesekolah. "Aku kesulitan memilih baju," jelasku sambil menyentuh perutku yang semakin terlihat dan menerima apel yang Axel siapkan. "Benar, perut Kak Nadia sudah semakin besar, akan sulit menutupnya dengan baju yang biasa Kak Nadia pakai, jadi akan lebih baik pakai yang longgar seperti itu." Itu dia masalahnya, walau bagaimana pun besarnya perut ini tidak bisa disembunyikan. Ini baru lima bulan dan perubahan yang signifikan sudah terlihat, bagaimana nanti ketika memasuki bulan kesembilan? Aku tidak tahu dengan menggunakan apa lagi aku harus menutupinya. "Makan apelnya dimobil saja, kita sudah terlambat!" Sejak kapan dia peduli dengan terlambat masuk sekolah? Padahal sebelumnya dia selalu melewatkan jam pelajaran pertama d

"Hanya tiga orang saja yang ikut?" Tanyaku menatap tiga nama yang Carlo serahkan setelah kelas kami berakhir untuk belajar kelompok hari ini. Tidak menjawab, Carlo hanya mengangguk. Sepertinya memang anak kelas ini tidak ada yang tertarik belajar kelompok dan dua orang lain selain Carlo juga pasti sebenarnya tidak begitu tertarik, mereka kemungkinan hanya ikut-ikutan Carlo saja. Aku sangat ingin percaya dengan apa yang Carlo katakan kemarin tentang dua orang itu yang tidak pacaran tapi ketika melihat mereka terus menempel seperti ingus dan upil didepanku, rasanya aku meragukan pernyataan Carlo kemarin karena sangat berbeda dengan yang terlihat sekarang. "Jadi bagaimana Bu?" "Apa?" Tanyaku yang jadi tidak fokus dengan pembicaraanku dan Carlo yang ada didepan kelas karena seluruh perhatianku tersedot pada aktivitas Axel dan Stela yang ada dibangku mereka. "

Waktu berlalu dengan cepat dan kini sudah satu minggu berlalu semenjak kematian Ayah Carlo. Mereka bertiga, Axel, Stela dan Carlo kembali sekolah dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Sekolah dan melakukan kelas tambahan ketika berada disekolah."Memangnya sampai kapan kita harus belajar seperti ini? Aku muak dengan Integral, Trigonometri, Matrix, semua ini membuat aku sakit kepala!" Protes Stela meletakkan pensil yang ada ditangannya.Diantara dua yang lainnya, memang Stela yang paling tidak bersemangat dan enggan mengikuti kelas tambahan ini dan sampai saat ini kalau diberikan soal pilihan ganda, dia akan menjawab dengan jawaban yang sama semua dengan jawaban A."Aku punya banyak sekali waktu, aku bisa mengajari kamu kalau kamu mau karena aku tidak perlu lagi mempersiapkan diri untuk masuk universitas!" Tawar Carlo.Stela dan Axel secara bersamaan menatap Carlo yang mengucapkan kalimat tersebut dengan tenang sambil menutup buku yang sedari ta

Berada disekolah adalah hal yang paling berat namun bukan berarti berada diapartemen juga menjadi tempat ternyaman. Ini sudah satu minggu setelah berita kehamilanku tersebar dan semua menjadi semakin kacau, beritanya semakin kemana-mana tanpa aku bisa membuat klarifikasi. Hubunganku dengan Axel juga tidak menunjukkan perbaikan sama sekali, Axel lebih sering pulang larut, tidak sarapan apel bersama seperti sebelumnya, tidak juga menawari aku berangkat dan pulang bersama, lalu ketika dia berada diapartemen, dia akan terus berada didalam kamarnya, jika kami tidak sengaja berpapasan diapartemen, dia akan melewati aku begitu saja tanpa mengatakan apapun. Situasi ini lebih mencekik dari pada disekolah. Yang paling menyakitkan dari semua itu adalah ketika dia tidak lagi peduli Pak Adam yang lebih gencar mendekati aku, dia yang biasanya uring-uringan dan bersikap kekanakan setiap kali Pak Adam melakukan itu kini hanya diam, menoleh pun tidak. Dia b