Semua Bab Lahirnya Kultivator Dewa Samudra: Bab 91 - Bab 100

Langit mulai memudar ke warna kelabu ketika perang di laut dan daratan memuncak di segala penjuru. Laut telah menelan kekaisaran, tapi masih tersisa banyak titik perlawanan di berbagai wilayah pantai.Di satu sisi tebing pesisir yang masih berdiri, sebuah medan pertempuran kecil berkecamuk hebat.Di antara puing dan bebatuan tajam, Demata berdiri dengan tubuh berlumur darah. Di sekelilingnya, mayat-mayat kultivator bumi yang mencoba menyerang titik perlindungan Sekte Black Ocean berserakan tak bernyawa. Gelombang air mengalir pelan dari tubuh-tubuh mereka yang remuk, tersapu bersih oleh kekuatan air yang sangat presisi dan mematikan.Teknik yang digunakan Demata tadi adalah teknik rahasia sektenya: “Napas Ketujuh Laut Dalam.”Tidak seperti Kael yang mengendalikan air dalam skala besar, teknik Demata adalah penggabungan antara gerakan tubuh dan manipulasi tekanan air di sekitarnya. Saat ia bergerak, ia menciptakan semburan air tipis setajam pisau y

"Kau tidak akan pernah tahu bahwa Kaisar Ardor sebelum aku adalah seorang kultivator laut dan bumi." Tukas Plagius membuat Kael tersentak dengan jantung mencelos."Apa katamu? Tapi bagaimana bisa—," ucapan Kael terhenti saat melihat raut wajah Plagius yang menurun."Ini akan menjadi kisah yang panjang, Kaelthar palsu. Bahkan Kael asli pun tidak pernah tahu hal ini." Tukas Plagius membuat Kael mengerjap sebelum meneguk ludah...."Ini menyebalkan," tukas Plagius yang masih berumur dua puluh lima tahun.Berjalan dengan menekuk wajah di pesisir pantai Ardor."Kenapa?" Tanya pria yang mengenakan jubah hitam tipis, meninggalkan jubah kebesarannya dengan alasan berat di pundak karena terlalu tebal."Berhenti menampilkan wajah seperti itu. Akhirnya aku punya waktu luang untuk berjalan-jalan bersama Putraku tapi kau nampak tidak menikmatinya sama sekali." Protes pria paruh baya itu, menghentikan langkah dan menoleh pada Plagius.

Tanah dan laut telah bergolak. Daratan luluh lantak, lautan mendidih. Langit runtuh dalam petir dan kabut, menyisakan medan perang yang seolah berdiri di antara dua dunia: kehancuran dan kelahiran baru.Di tengah medan itu, Kael berdiri tertunduk.Darah menetes dari pelipisnya. Napasnya berat. Tubuhnya digerogoti kelelahan, tapi semangatnya menyala kembali—bukan oleh dendam, melainkan oleh keyakinan. Ia telah melihat penderitaan sekutunya, kematian petinggi Sektenya, dan pengkhianatan para bangsawan kekaisaran. Namun lebih dari semua itu, ia tahu satu hal yang tidak bisa dikalahkan: kehendak laut.Di hadapannya berdiri Kaisar Plagius, tubuhnya masih dalam bentuk golem batu raksasa. Dua tanduk batu di kepalanya menghitam, menunjukkan bahwa kekuatannya telah menembus batas manusiawi. Matanya merah membara, tubuhnya memancarkan magma dari celah-celah retakan batu yang kini mewakili dirinya sebagai roh kehancuran Ardor.Keduanya saling menatap.

Laut bergetar seperti jantung dunia yang dipaksa berdetak lebih cepat. Di atasnya, dua sosok mengambang, saling mengunci dalam ketegangan yang membuat udara tak berani berembus. Kael, berdiri di atas pusaran arus biru yang membentuk lingkaran pelindung, tubuhnya menyatu dengan lautan, rambutnya melayang seperti tentakel air. Cahaya esensi laut bersinar dari jantungnya. Tangannya terbuka, dan dari sana mengalir kekuatan yang tak pernah ia gunakan sebelumnya—esensi laut dari lautan ditambah roh lautan itu sendiri. Di hadapannya, menjulang setinggi gunung, Dewa Laut, dengan tubuh setengah manusia yang terbentuk dari cairan bening, setengah badannya terangkat dari pusaran samudra raksasa yang tak berujung. Tak memiliki wajah, tak memiliki suara, namun memiliki kuasa yang mengguncang dunia. "Kenapa kau menolak kematianmu sendiri?" Tanya Dewa laut, dingin dan menembus jantung. "Aku hanya ingin mati jika memang waktunya. Aku sudah membunuh banyak orang dengan tangan ini, jika aku mati di

Tubuh Kael sudah lemah tidak berdaya karena tidak berhenti bertarung. Beberapa tulangnya patah, tubuhnya memucat dan bergetar kedinginan karena terlalu banyak menyerap esensi laut juga roh lautan. Sekujur tubuhnya penuh luka goresan dan lebam yang parah. Kepala Kael berdenyut dengan jantung bergemuruh—berdetak tidak normal. Kael sudah terlalu menghabiskan semua tenaga, fisik dan jiwa raganya di pertarungan hari ini. Kael sudah tidak berdaya, semua hal seolah buyar saat matanya perlahan memburam. Tubuh Kael limbung, dia pikir akan segera menabrak dan tenggelam ke permukaan air namun perkiraannya salah. Pollux menangkap tubuhnya dan membawa Kael ke dalam pelukannya. Dibawah cahaya senja dan permukaan laut yang memantulkan cahayanya. Kael mengulum senyum sebelum bersandar nyaman pada pundak Pollux. "Guru, bisakah mulai sekarang kau memanggilku dengan sebutan Kael? Bukan Pangeran ataupun Kaelthar. Tapi hanya Kael." Gumam Kael lirih. Pelukan Pollux mengerat sebelum berkata dengan bib