Semua Bab Balas Dendam Sang Pendamping Setia: Bab 221 - Bab 230

Keributan di lobi rumah sakit semakin tak terkendali. Nayla terjebak di antara pintu ICU dan kerumunan wartawan yang terus mendesak maju. Lampu kilat kamera menyilaukan matanya, mikrofon diarahkan ke wajahnya dari segala arah.“Miss Nayla, apakah benar Anda datang untuk mengambil alih aset terakhir Galan Pratama?”“Bagaimana perasaan Anda melihat mantan kekasih jatuh bangkrut?”“Apakah takeover ini sudah Anda rencanakan sejak lama?”Pertanyaan demi pertanyaan menghujani tanpa henti.Bu Lastri menatap Nayla dengan mata penuh harap. “Nayla, Nak… masuk dulu saja. Biar Mama yang hadapi mereka.”Nayla mengangguk singkat, lalu cepat-cepat membuka pintu ICU dan masuk. Begitu pintu tertutup, suara riuh itu meredam—meski gaungnya masih samar terdengar.Galan terbaring dengan mata terpejam. Meski begitu, Nayla tahu ia tidak benar-benar tidur. Monitor jantung di sampingnya menunjukkan ritme yang tidak teratur—tanda tubuhnya dipenuhi stres.“Galan,” panggil Nayla pelan.Kelopak mata Galan bergera

Apartemen Kecil Sewaan, Malang. Dua minggu kemudian.Galan duduk di lantai dingin apartemen studio yang ia sewa dengan sisa uang terakhirnya. Tempat ini begitu kontras dengan penthouse mewah yang dulu ia miliki—dinding berwarna kusam, furnitur seadanya, dan AC yang sudah lama tak berfungsi.Di hadapannya, sebuah laptop tua yang dibeli second-hand menyala redup. Jari-jarinya pelan menggulir deretan email lama, percakapan bertahun-tahun lalu yang kini terasa seperti hantaman ke dada.From: nayla.sari@gmail.comTo: galan.pratama@gmail.comSubject: Draft Proposal - Green Construction InitiativeDate: 3 tahun lalu"Galan, aku sudah review market research-nya. Sustainable building materials ini peluang besar. Aku lampirkan business model yang aku buat, beserta proyeksi finansial 5 tahun ke depan. Kita bisa jadi first movers di bidang ini."Galan membuka lampirannya—presentasi setebal 47 slide. Semua lengkap: data anali

Kantor Pusat PT. Mitra Solusi Konstruksi, Jakarta. Sore hari.Nayla sedang memimpin rapat bersama jajaran manajemen senior di ruang konferensi lantai 20. Mereka membahas rencana ekspansi untuk kuartal berikutnya. Suasana rapat berjalan profesional dan fokus—lingkungan yang membuat Nayla selalu merasa berada di tempat yang tepat.“Untuk proyek Surabaya, timeline kita percepat dua minggu,” kata Nayla sambil menunjuk slide presentasi. “Peluangnya terbuka sekarang. Kompetitor belum siap. Ini kesempatan kita untuk menguasai pasar Jawa Timur.”“Bu Nayla,” ucap Dika, Direktur Operasional, sambil mengangkat tangan, “apakah sumber daya kita cukup untuk mempercepat timeline ini?”“Pertanyaan bagus. Sarah, bisa jelaskan detail alokasinya?”Sarah, sang CFO, membuka laptop. “Dengan tenaga kerja yang ada dan tambahan kontraktor, proyek tetap bisa jalan. Dari sisi anggaran, kita masih aman, s

Sarah masih menggenggam USB drive ketika suara langkah kaki kembali terdengar di koridor. Nayla menghela napas panjang—ia mengira Galan sudah pergi, dikawal security seperti seharusnya. Namun pintu ruang rapat itu kembali terbuka, dan Galan muncul lagi. Wajahnya jauh lebih putus asa dari sebelumnya.“Nayla, tunggu—” suaranya serak, nyaris pecah, mengabaikan tatapan tajam Sarah. “Ada satu hal lagi yang harus kukatakan.”“Galan, kamu sudah selesai di sini,” ucap Sarah tegas, berdiri di depan Nayla seperti perisai.“Please,” suara Galan bergetar, matanya memohon. “Lima menit saja. Setelah itu aku janji tak akan mengganggu lagi.”Nayla menatapnya lelah. Dari lantai dua puluh, cahaya kamera wartawan di bawah semakin terang. Suara riuh mereka bahkan terdengar samar menembus dinding kaca. Hidup yang semula mulai tenang kini kembali dihantam badai—dan badai itu bernama Galan.&ld

Tiga puluh menit kemudian, Arvino tiba bersama dua orang pengawal pribadinya. Wajahnya jelas dipenuhi kekhawatiran ketika melihat kondisi Nayla yang pucat dan Sarah yang terlihat sangat tegang."Nayla," ucapnya sambil langsung memeluk kekasihnya, "aku sudah dengar dari Detektif Rahman. Kita harus segera membawamu ke tempat yang aman.""Rumah sakit baru saja menelpon lagi," kata Sarah, menunjukkan ponselnya. "Kondisi Galan kritis. Mereka bilang kalau tidak ada keluarga yang datang dalam satu jam, mereka terpaksa akan mengambil keputusan sulit."Nayla merasakan beban berat menekan pundaknya. Di satu sisi, ada ancaman nyata dari Alya yang entah di mana. Di sisi lain, seorang pria yang dulu pernah ia cintai—meski dengan cara yang salah—sedang sekarat, memanggil-manggil namanya."Nayla," suara Arvino merendah, "kamu tidak punya kewajiban untuk datang. Galan bukan tanggung jawabmu lagi.""Aku tahu," balas Nayla pelan. "Tapi…""Tapi apa?"Nayla menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota Jakart