Share

Bab 223

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-19 22:43:30

Nayla baru saja keluar dari ruang ICU ketika langkahnya berpapasan dengan Alya yang datang dari arah berlawanan. Dua petugas KPK dan seorang pengacara berjalan di sisi Alya, membuat suasana koridor mendadak tegang.

Begitu melihat Nayla, Alya berhenti. Tatapannya sulit ditebak—ada dingin, ada hitung-hitungan, seolah setiap kata yang akan keluar sudah ditakar matang-matang.

“Nayla,” sapanya dengan suara datar, lebih dingin daripada biasanya. “Tidak menyangka kita akan bertemu di sini.”

Nayla mengangguk singkat. “Alya.” Nada suaranya netral. Ia tidak berniat terjebak dalam drama Alya kali ini.

Senyum tipis muncul di bibir Alya, tapi mengandung sindiran. “Datang untuk apa? Mengambil sisa-sisa yang masih bisa kau ambil?”

Seorang petugas KPK melirik mereka berdua, nadanya formal. “Permisi, Mbak. Anda siapa dalam kasus ini?”

“Saya bukan siapa-siapa,” jawab Nayla tegas. &l

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 248

    “Sekarang saya dapat pesanan dari Bandung, Surabaya, bahkan ada calon pembeli dari Malaysia!” Ibu Wati tersenyum bangga. “Pelanggan justru senang mendengar cerita di balik tiap kain batik, proses pembuatannya, makna motifnya. Mereka rela membayar lebih untuk keaslian.”Tepuk tangan spontan terdengar. Dada Nayla terasa hangat. Inilah alasan ia memulai program ini.“Yang paling penting,” lanjut Ibu Wati, “saya tidak lagi merasa kalah dengan brand modern. Saya punya nilai unik, dan ternyata ada pasar yang menghargainya.”“Itu luar biasa, Bu Wati,” kata Nayla dengan tulus. “Ibu tidak hanya membesarkan bisnis, tapi juga kepercayaan diri.”Sesi ditutup dengan foto bersama dan saling bertukar kontak. Nayla melihat ikatan alami mulai terjalin di antara para peserta—jaringan dukungan yang tumbuh sendiri.Ketika peserta mulai bubar, kru media yang sudah menunggu menghampiri. Nayla melayani dengan ramah, sementara ia sadar Arvino menjauh dari jangkauan kamera.“Miss Nayla,” tanya reporter Metro

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 247

    Tiga bulan setelah peluncuran program, Nayla berdiri di halaman Community Center Depok yang sederhana tapi terawat. Pagi itu cerah, angin sepoi-sepoi membuat daun mangga bergoyang pelan. Di sekitarnya, dua puluh lima perempuan dari berbagai usia duduk melingkar—angkatan pertama program “Langkah Kecil, Dampak Besar.”“Selamat pagi, semuanya,” sapa Nayla dengan senyum hangat. Ia duduk di kursi plastik yang sama dengan para peserta, tanpa podium, tanpa mikrofon. Hanya percakapan dari hati ke hati.“Pagi, Kak Nayla!” jawab mereka kompak, penuh semangat.Nayla menatap wajah-wajah di sekelilingnya. Ada Bu Sari, ibu berusia empat puluhan dengan bisnis katering rumahan. Ada Dina, mahasiswi semester akhir dengan ide aplikasi untuk menghubungkan petani lokal dengan konsumen di kota. Ada juga Ibu Wati, pengrajin batik dari Pekalongan yang baru pindah ke Jakarta untuk memperluas pasar.“Bagaimana minggu pertama kalian? Jujur saja, ya, nggak usah ditutup-tutupi,” tanya Nayla.Bu Sari mengangkat ta

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 246

    Ballroom Hotel Shangri-La Jakarta malam itu penuh sesak oleh lima ratus undangan terpilih: pengusaha, akademisi, pejabat pemerintah, hingga para aktivis pemberdayaan perempuan. Kilau kristal chandelier menyebar ke seluruh ruangan, berpadu dengan dekorasi bernuansa earth tone—coklat, krem, dan hijau sage. Hangat, profesional, tanpa kesan mengintimidasi.Di balik tirai samping panggung, Nayla berdiri sambil mengintip ke arah hadirin. Malam ini ia memilih blazer cokelat tua, inner krem sederhana, dan celana palazzo yang jatuh anggun. Busana itu ia pilih dengan penuh pertimbangan: bukan untuk menampilkan jarak, melainkan kepemimpinan yang bisa dirasakan dekat, bukan arogan.“Nervous?” Arvino tiba-tiba muncul di sampingnya, menyodorkan segelas air mineral.Nayla menerima gelas itu, tersenyum tipis. “Bukan nervous. Lebih ke… excited. Ini sesuatu yang sudah lama aku tunggu.”“Dan akhirnya sekarang bisa kamu lakukan.”Nayla mengangguk. Enam bulan terakhir hidupnya benar-benar mengubah banyak

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 245

    Ruang rapat di kantor Mahendra & Associates terasa dingin, meski pendingin ruangan tidak begitu kencang. Galan duduk di kursi kulit hitam, berhadapan dengan Yudhistira. Seragam tahanan oranye yang ia kenakan tampak begitu janggal di ruangan elegan dengan rak penuh buku hukum dan meja rapat mengilap itu. Ia merasa seperti orang asing, seolah dilempar ke dunia yang bukan lagi miliknya.“Pak Galan,” suara Yudhistira tenang tapi tegas sambil membuka map tebal di depannya. “Saya sudah pelajari kasus Anda secara menyeluruh. Situasinya… cukup berat.”Cukup berat. Kata yang manis untuk sesuatu yang sejatinya mendekati mustahil.“Berapa lama?” Galan langsung bertanya, tak punya energi untuk basa-basi.“Minimal lima tahun penjara,” jawab Yudhistira. “Kalau jaksa bisa membuktikan unsur perencanaan, dan Anda dianggap konspirator utama, hukumannya bisa sampai dua belas tahun.”Angka itu terasa seperti pukulan telak bertubi-tubi. Lima tahun. Dua belas tahun. Galan baru tiga puluh satu. Itu artinya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 244

    Ruang tahanan Polda Metro Jakarta jauh dari gambaran yang sering Galan lihat di film. Tidak ada jeruji besi dramatis, tidak ada suara logam berderak. Hanya ruangan sempit bercat putih, kasur tipis, toilet stainless di sudut, dan jendela kecil berpagar besi yang langsung menghadap dinding gedung lain.Galan duduk di tepi kasur, kepala tertunduk, tatapannya kosong menempel pada lantai keramik yang dingin. Seragam oranye tahanan terasa kasar di kulitnya, begitu berbeda dari kemeja halus yang biasa ia kenakan. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah—melainkan pikirannya, yang berputar tanpa henti.Kilasan ingatan muncul.Suara tawa Alya saat makan malam pertama mereka di restoran Italia yang hangat. “Kamu tahu, Gal? Aku suka cowok ambisius tapi nggak sombong. Jarang banget ketemu yang kayak gitu.”Kilasan lain.Alya menangis di pelukannya setelah bertengkar dengan ayahnya soal pilihan karier. “Semua orang selalu expect aku jadi perfect. Aku capek, Gal. Cuma sama kamu aku bisa jadi diriku s

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 243

    Auditorium Universitas Indonesia sore itu dipenuhi mahasiswa. Antusiasme terasa sejak awal, karena panel diskusi bertajuk “Entrepreneurship for Social Impact” menghadirkan sosok yang sudah lama jadi panutan banyak orang: Nayla.Sejak enam bulan lalu, namanya kembali ramai diperbincangkan media—bukan hanya karena prestasinya, tapi juga kisah personal yang sempat mengguncang. Kehadirannya di panggung selalu menyedot perhatian.“Miss Nayla,” seorang mahasiswa dari barisan depan mengangkat tangan, suaranya jelas. “Bagaimana caranya membedakan antara ambisi yang sehat dengan ambisi yang justru merusak?”Nayla tersenyum. Dia mencondongkan badan sedikit ke depan, membetulkan posisi mikrofon. Hari itu ia mengenakan blazer biru navy dipadu celana krem, cukup profesional tanpa terlihat terlalu kaku. Rambut sebahunya yang kini ditata sederhana membuat wajahnya terlihat lebih dewasa.“Ambisi yang sehat,” jawabnya tenang, “selalu punya tujuan yang lebih besar dari diri kita sendiri. Kalau ambisi h

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status