Share

Bab 227

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-08-21 23:00:45

Nayla menatap ponsel yang baru saja ia letakkan di atas meja ruang rapat. Suara Detektif Rahman masih bergema di kepalanya. Dalam penyelidikan kasus Galan, namanya muncul di beberapa dokumen keuangan—bukan hanya sebagai saksi, tapi mungkin juga sesuatu yang lebih.

“Ada bukti baru, menunjukkan adanya transfer dana dari rekening perusahaan Galan ke rekening pribadi atas nama Anda dua tahun lalu,” jelas Detektif Rahman. “Kami butuh klarifikasi, apakah ini transaksi bisnis yang sah atau bagian dari skema pencucian uang.”

Nayla jelas ingat transfer itu—pembayaran untuk pekerjaan konsultasi yang memang ia lakukan di masa awal keterlibatan dengan perusahaan Galan. Semua legal, terdokumentasi dengan baik. Tapi dalam konteks penyelidikan sekarang, segalanya bisa diputarbalikkan.

Pintu terbuka, Sarah masuk lagi. Wajahnya cemas.

“Nayla, kamu yakin baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali.”

“Ada komplikasi,&rdquo

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 250

    Ponsel Nayla bergetar keras di meja. Nama Galan muncul di layar dengan keterangan "Panggilan dari Lembaga Pemasyarakatan." Suasana ruang meeting yang hangat seketika berubah dingin."Jangan diangkat," bisik Arvino, tangannya menyentuh lengan Nayla.Tapi Nayla sudah menggeser tombol hijau. Entah kenapa, sesuatu dalam dirinya merasa perlu mendengar apa yang hendak dikatakan mantan suaminya setelah berbulan-bulan terdiam."Halo, Nayla." Suara Galan terdengar serak melalui speaker. "Terima kasih sudah mau mengangkat.""Ada apa, Galan?" Nayla berusaha menjaga nada bicaranya tetap datar, profesional."Aku dengar kamu dalam masalah. Seseorang mengawasi aktivitasmu."Nayla dan Arvino saling bertukar pandang. Bagaimana Galan bisa tahu?"Darimana kamu tahu soal itu?""Nayla, meski aku di sini, bukan berarti aku terisolasi total dari dunia luar. Ada hal-hal yang sampai ke telingaku."Arvino mengisyaratkan untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Nayla mengangguk."Jelaskan yang kamu tahu," kata Na

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 249

    Kantor yayasan di lantai 15 gedung perkantoran Sudirman terasa lebih sunyi dari biasanya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sebagian besar staf sudah pulang, hanya meninggalkan Nayla dan Arvino yang masih tenggelam dalam tumpukan dokumen di ruang rapat kecil.Lampu kota Jakarta berkelip di balik jendela kaca besar. Pemandangan yang bisa terasa romantis andai saja meja di hadapan mereka tidak penuh dengan proposal, laporan keuangan, dan draft kontrak yang harus segera ditinjau.“Perjanjian kerja sama dengan UN Women ini rumit sekali,” gumam Arvino sambil membalik halaman kontrak yang tebal. “Mereka menuntut tingkat transparansi yang sangat detail. Setiap transaksi harus ada jejak auditnya.”Nayla menatap layar laptopnya yang dipenuhi angka-angka di spreadsheet. “Dan itu bagus, sebenarnya. Transparansi adalah hal terpenting untuk kredibilitas program ini. Apalagi setelah kebocoran data kemarin.”“Kamu sudah tahu siapa yang ada di balik kebocoran itu?”“Sarah masih menyeli

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 248

    “Sekarang saya dapat pesanan dari Bandung, Surabaya, bahkan ada calon pembeli dari Malaysia!” Ibu Wati tersenyum bangga. “Pelanggan justru senang mendengar cerita di balik tiap kain batik, proses pembuatannya, makna motifnya. Mereka rela membayar lebih untuk keaslian.”Tepuk tangan spontan terdengar. Dada Nayla terasa hangat. Inilah alasan ia memulai program ini.“Yang paling penting,” lanjut Ibu Wati, “saya tidak lagi merasa kalah dengan brand modern. Saya punya nilai unik, dan ternyata ada pasar yang menghargainya.”“Itu luar biasa, Bu Wati,” kata Nayla dengan tulus. “Ibu tidak hanya membesarkan bisnis, tapi juga kepercayaan diri.”Sesi ditutup dengan foto bersama dan saling bertukar kontak. Nayla melihat ikatan alami mulai terjalin di antara para peserta—jaringan dukungan yang tumbuh sendiri.Ketika peserta mulai bubar, kru media yang sudah menunggu menghampiri. Nayla melayani dengan ramah, sementara ia sadar Arvino menjauh dari jangkauan kamera.“Miss Nayla,” tanya reporter Metro

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 247

    Tiga bulan setelah peluncuran program, Nayla berdiri di halaman Community Center Depok yang sederhana tapi terawat. Pagi itu cerah, angin sepoi-sepoi membuat daun mangga bergoyang pelan. Di sekitarnya, dua puluh lima perempuan dari berbagai usia duduk melingkar—angkatan pertama program “Langkah Kecil, Dampak Besar.”“Selamat pagi, semuanya,” sapa Nayla dengan senyum hangat. Ia duduk di kursi plastik yang sama dengan para peserta, tanpa podium, tanpa mikrofon. Hanya percakapan dari hati ke hati.“Pagi, Kak Nayla!” jawab mereka kompak, penuh semangat.Nayla menatap wajah-wajah di sekelilingnya. Ada Bu Sari, ibu berusia empat puluhan dengan bisnis katering rumahan. Ada Dina, mahasiswi semester akhir dengan ide aplikasi untuk menghubungkan petani lokal dengan konsumen di kota. Ada juga Ibu Wati, pengrajin batik dari Pekalongan yang baru pindah ke Jakarta untuk memperluas pasar.“Bagaimana minggu pertama kalian? Jujur saja, ya, nggak usah ditutup-tutupi,” tanya Nayla.Bu Sari mengangkat ta

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 246

    Ballroom Hotel Shangri-La Jakarta malam itu penuh sesak oleh lima ratus undangan terpilih: pengusaha, akademisi, pejabat pemerintah, hingga para aktivis pemberdayaan perempuan. Kilau kristal chandelier menyebar ke seluruh ruangan, berpadu dengan dekorasi bernuansa earth tone—coklat, krem, dan hijau sage. Hangat, profesional, tanpa kesan mengintimidasi.Di balik tirai samping panggung, Nayla berdiri sambil mengintip ke arah hadirin. Malam ini ia memilih blazer cokelat tua, inner krem sederhana, dan celana palazzo yang jatuh anggun. Busana itu ia pilih dengan penuh pertimbangan: bukan untuk menampilkan jarak, melainkan kepemimpinan yang bisa dirasakan dekat, bukan arogan.“Nervous?” Arvino tiba-tiba muncul di sampingnya, menyodorkan segelas air mineral.Nayla menerima gelas itu, tersenyum tipis. “Bukan nervous. Lebih ke… excited. Ini sesuatu yang sudah lama aku tunggu.”“Dan akhirnya sekarang bisa kamu lakukan.”Nayla mengangguk. Enam bulan terakhir hidupnya benar-benar mengubah banyak

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 245

    Ruang rapat di kantor Mahendra & Associates terasa dingin, meski pendingin ruangan tidak begitu kencang. Galan duduk di kursi kulit hitam, berhadapan dengan Yudhistira. Seragam tahanan oranye yang ia kenakan tampak begitu janggal di ruangan elegan dengan rak penuh buku hukum dan meja rapat mengilap itu. Ia merasa seperti orang asing, seolah dilempar ke dunia yang bukan lagi miliknya.“Pak Galan,” suara Yudhistira tenang tapi tegas sambil membuka map tebal di depannya. “Saya sudah pelajari kasus Anda secara menyeluruh. Situasinya… cukup berat.”Cukup berat. Kata yang manis untuk sesuatu yang sejatinya mendekati mustahil.“Berapa lama?” Galan langsung bertanya, tak punya energi untuk basa-basi.“Minimal lima tahun penjara,” jawab Yudhistira. “Kalau jaksa bisa membuktikan unsur perencanaan, dan Anda dianggap konspirator utama, hukumannya bisa sampai dua belas tahun.”Angka itu terasa seperti pukulan telak bertubi-tubi. Lima tahun. Dua belas tahun. Galan baru tiga puluh satu. Itu artinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status