All Chapters of RAHASIA ISTRI BERCADARKU: Chapter 21 - Chapter 30

"Abid, kenapa kamu diam saja?" tanya Umi Hafsah kembali. "Yura lagi beli makanan dan baju Umi, sebentar aku telepon!" ujar Abidzar yang dijawab anggukan oleh Umi Hafsah. Sementara itu Renita hanya diam mendengarkan percakapan ibu dan anak itu. Abidzar segera menghubungi istrinya, tetapi tidak tersambung. Ia mencobanya lagi dan hasilnya tetap sama. Logikanya mengatakan telah terjadi sesuatu karena tidak mungkin Yura pergi tanpa berpamitan apalagi dalam keadaan seperti ini. Abidzar kemudian memanggil kedua adiknya datang untuk menanyakan keberadaan Yura. "Kenapa tidak ada satu orang pun yang tahu ke mana Yura pergi. Apa kalian mengusirnya?" tanya Abidzar sambil menatap Farid, Reyhan secara bergantian. Namun, semua tampak terdiam dan tidak ada yang berani menjawab. "Keterlaluan kalian, bagaimanapun juga Yura istriku. Aku harus bilang apa sama Umi?" tanya Abidzar dengan penuh kemarahan. "Dia hanya membawa kesialan buat keluarga kita." Akhirnya Farid berani menyahuti. Mendengar it

Setelah dirawat hampir seminggu kondisi Umi Hafsah semakin membaik. Bahkan ia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Semua anak dan menantunya datang untuk menjemputnya pulang. "Sebaiknya Umi dan Kak Abid tinggal sama aku, di rumah ada kamar tamu yang bisa ditempati!" ujar Farid yang memiliki rumah cukup besar. "Kak Farid dan Kak Risa sibuk, Umi tinggal sama aku saja. Di rumahku juga ada kamar kosong!" sahut Reyhan kemudian. Sebenarnya Umi Hafsah tidak masalah mau tinggal di mana yang penting bisa bersama Abidzar dan Yura. "Bagaimana Nak?" tanya Umi Hafsah kepada Abidzar. "Terserah Umi, tapi menurutku sampai pelaku kebakaran belum tertangkap sebaiknya kita tinggal terpisah dulu!" jawab Abidzar yang tidak mau nyawa ibunya terancam lagi. "Aku janji kita akan secepatnya tinggal bersama lagi," ucapnya kemudian. Setelah bermusyawarah dengan mempertimbangkan segi keamanan dan perasaan anak-anaknya, untuk sementara waktu Umi Hafsah memutuskan tinggal bersama Farid dulu.

"Nggak apa-apa, ayo buka sudah bedug tuh!" sahut Abidzar yang segera meraih segelas teh manis panas dan tiga buah kurma. "Masakan Kakak enak juga ya," puji Yura sambil tersenyum. Tanpa menoleh Abidzar balik bertanya, "Masa sih, tadi asal-asalan bikin bumbunya?" "Iya enak, cobain saja kalau nggak percaya!" sahut Yura kemudian. "Iya nanti saja aku makannya, mau salat magrib dulu ya. Boleh pinjam sajadah!" sahut Abidzar sambil beranjak. Yura menatap Abidzar dengan heran dan bertanya, "Kenapa hari ini kita nggak salat berjamaah?" "Ya sudah, kita makan dulu!" sahut Abidzar segera duduk lagi dan makan bersama Yura dengan perasaan yang sangat kacau. Selesai makan Yura segera masuk ke kamarnya dan tidak lama kemudian sudah ke luar lagi sambil membawa sajadah. Ia juga telah memakai mukena. "Kita salat di ruang baca saja ya!" ujarnya kemudian. Sebenarnya rumah itu memiliki dua kamar, tetapi yang satu lagi dirubah jadi ruang baca karena Yura memang seorang kutu buku.

Sejak melihat perut suaminya yang sixpack jantung Yura suka berdebar-debar sendiri, kalau mereka bertatap muka. Berkali- kali ia berusaha menepis perasaan itu, tetapi terus muncul lagi. Sebagai seorang istri tentu saja normal dan wajar, tetapi sungguh Yura tidak menginginkannya. Tidak mau tenggelam dalam perasaan yang suatu saat nanti akan menghanyutkannya. "Benar-benar meresahkan," lirih Yura sambil memasukan pakaian ke dalam mesin cuci. "Apa yang meresahkan?" tanya Abidzar yang sudah berada di belakang Yura. Yura menoleh dan melihat suaminya yang baru pulang dari mesjid masih mengenakan sarung dan koko. Sungguh berkarisma sekali membuat perasaan itu tiba-tiba muncul kembali. "Aku sepertinya datang bulan," jawab Yura yang segera memalingkan wajahnya. "Oh, baru mau diajakin ngaji. Ya sudah dilanjut deh nyucinya!" sahut Abidzar sambil masuk ke kamarnya. Yura menghela nafas panjang dan kembali melanjutkan mencuci baju. Selesai menjemur, ia berpikir mau melakukan apa lagi. Akan te

Umi Hafsah menatap bekas rumahnya yang terbakar dengan sedih. Terlalu banyak kenangan di rumah ini yang telah tercipta. Seperti mengajar mengaji dan perjuangannya membesarkan anak-anak seorang diri. "Aku memang tidak tahu apa yang sedang Engkau rencanakan ya Allah. Tapi aku ikhlas menerima semua takdir-Mu. Tolong lindungi anak-anak dan para menantuku di mana pun mereka berada, aaminn ya Rabbal alamin," doa Umi Hafsah dengan lapang dada dan tegar. Tingkat keikhlasan seseorang adalah ketika kesabarannya diuji dengan berbagai musibah, tetapi tidak mengeluh dan tetap kuat menjalani takdir. Sementara itu Yura tampak menahan rasa sesak di dadanya. Melihat rumah yang selama ini menjadi tempat ternyaman baginya kini hangus terbakar. Semua karena tindakannya yang ingin membela diri. "Maafkan Yura, aku berjanji akan membangun rumah ini persis seperti semula, Umi!" batin Yura dengan sebuah rencananya. Sementara itu Abidzar tidak mampu berkata-kata, tetapi yakin apa yang telah terjadi pasti