Aku berdiri di depan Mas Afnan dan tak berani melangkah lebih dekat. Ia duduk di sofa dengan wajah masih tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Tangannya mengepal, masih belum sepenuhnya tenang dari kejadian tadi.Dadaku sesak. Aku ingin mendekat, ingin menyentuh luka lebam di pipinya yang jelas membiru. Tapi kakiku seperti menolak bergerak. Antara bahagia dan takut. Bahagia karena akhirnya aku tahu bahwa Mas Afnan mencintaiku. Tapi juga takut, karena tadi aku melihat sisi dirinya yang belum pernah kutemui. Brutal. Penuh amarah.Aku mencoba menenangkan diriku. Kugigit bibir, lalu memberanikan diri membuka suara, “Ma—mas ... aku ambil kompres dulu, ya?”Baru saja aku hendak berbalik, suara Mas Afnan memanggil pelan namun tajam, “Sejak kapan?”Langkahku terhenti seketika. Nafasku tertahan. Jantungku seperti tersangkut di tenggorokan.Ia sudah mengangkat kepalanya, dan kini menatapk
Terakhir Diperbarui : 2025-05-08 Baca selengkapnya