All Chapters of Derita Istri Tak Diinginkan: Chapter 111 - Chapter 120

“Apa?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Apa maksudmu?”Archer mengangguk pelan, wajahnya kini mulai serius. “Victor. Lelaki itu yang menghamili Joana.”Melvin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia mundur selangkah, tubuhnya limbung sesaat. Nama Victor terlalu sering muncul dalam kehidupan Thania dan dirinya—dan kini dikaitkan dengan Joana?“Joana berkali-kali menemui Victor,” lanjut Archer tanpa jeda. “Dia memohon agar Victor segera mengambil Thania darimu. Joana tidak bisa memiliki dirimu jika kau masih bersama Thania.”Melvin memejamkan matanya, mencoba mencernanya. Tetapi Archer belum selesai.“Tapi Victor tidak bodoh,” lanjutnya lagi.“Dia tahu kelemahan Joana. Dia tahu Joana adalah wanita yang rela melakukan apa pun demi ambisinya. Jadi Victor menjebaknya. Dia meminta Joana melayaninya… mungkin satu minggu lima kali?“Dan Joana menuruti. Karena bagi Joana, satu-satunya cara membuatmu kembali adalah jika Thania pergi. Dia bersedia menyerahkan tubuhnya demi rencana kotor itu

Malam itu, jam di dinding menunjuk pukul delapan malam. Rumah sudah tenang, para asisten rumah tangga telah menyelesaikan tugas mereka dan kembali ke paviliun. Udara malam terasa hangat dengan embusan angin lembut dari jendela yang sedikit terbuka. Lampu-lampu ruangan sengaja diredupkan, memberikan kesan hangat dan menenangkan.Thania melangkah keluar dari kamar dengan mengenakan gaun tidur berbahan satin berwarna biru lembut yang jatuh membingkai tubuhnya dengan anggun.Rambutnya digerai bebas, wajahnya bersih tanpa riasan namun tetap menawan. Ia bermaksud ke dapur untuk mengambil air putih sebelum tidur. Namun, langkahnya terhenti di ambang ruang makan. Matanya membelalak sejenak.Meja makan yang biasa tampak sederhana, kini terlihat berbeda. Taplak baru berwarna krem menutupi permukaannya. Di atasnya terhidang aneka makanan lezat yang tertata rapi dalam porselen putih elegan.Di tengah meja, sepasang lilin menyala, memancarkan cahaya temaram yang memantul di gelas-gelas kristal. Ar

Pagi itu, sinar matahari belum terlalu terik ketika sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan sebuah rumah besar yang terletak di pinggiran kota. Rumah itu tampak mewah dari luar, namun ada sesuatu yang membuatnya terasa kelam dan penuh misteri.Melvin turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk Thania yang tengah hamil besar. Wajahnya serius, sorot matanya tajam. Dia tahu, hari ini bukan hari biasa. Hari ini adalah saatnya konfrontasi. Kebenaran akan muncul.“Ini tempatnya?” tanya Thania pelan.Melvin mengangguk. “Ya. Archer mengirim lokasinya kemarin malam. Aku yakin dia di sini.”Mereka melangkah menuju pintu depan. Melvin mengetuk tiga kali, tegas dan penuh kendali. Tak lama, pintu terbuka. Joana berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Ia tidak menyangka akan melihat Melvin, apalagi bersama Thania.“Dari mana kau tahu aku ada di sini?” tanyanya dengan suara getir, kedua matanya menyipit curiga.Melvin tersenyum miring. “Joana, kau lupa siapa aku? Aku akan menemuk

Operasi berjalan selama hampir dua jam. Bagi Melvin, waktu seakan berhenti, setiap detik terasa seperti seumur hidup.Ia duduk menunduk di kursi ruang tunggu, jarinya saling mencengkeram, wajahnya pucat dan matanya bengkak karena terlalu lama menangis.Baru ketika dokter keluar dengan pakaian operasi yang masih menempel dan wajah letih, Melvin berdiri dengan tergesa, napasnya tertahan.“Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” tanyanya nyaris tanpa suara.Dokter mengangguk pelan. “Operasi berjalan dengan lancar, Tuan Melvin. Kedua bayi berhasil kami selamatkan, meskipun kondisi mereka masih lemah. Saat ini mereka telah dipindahkan ke ruang inkubator untuk penanganan lebih lanjut oleh tim neonatologi.”Melvin langsung menutup wajahnya, tubuhnya limbung namun lega. “Terima kasih… terima kasih banyak…”Dokter melanjutkan, “Sementara Nyonya Thania masih dalam masa kritis. Kami telah membawanya k

Dua minggu telah berlalu sejak malam mengerikan itu—malam yang hampir merenggut nyawa wanita yang sangat dicintai Melvin.Setiap hari, Melvin datang ke rumah sakit, menatap wajah Thania yang tertidur dalam ketidakpastian. Wajah itu pucat, diam, dan hanya ditemani bunyi lembut mesin pemantau detak jantung dan alat bantu pernapasan.Namun hari ini, sesuatu terasa berbeda. Hatinya berdebar tak menentu ketika melangkah memasuki ruang ICU.Langkah Melvin perlahan mendekati ranjang, dan tiba-tiba—tanpa peringatan—kelopak mata Thania yang selama ini terpejam perlahan terbuka. Mata teduh itu tampak buram dan lemah, namun jelas menatap Melvin yang berdiri di sisi ranjangnya.Melvin membelalak, tubuhnya seketika menegang karena terkejut. Namun sesaat kemudian, ia menunduk, bibirnya bergetar, dan air mata haru membasahi pipinya.“Thania…” bisiknya nyaris tak terdengar, sebelum suara itu berubah menjadi jeritan syukur. &ldq