Siang itu, suasana di rumah keluarga Reandra dipenuhi oleh sinar matahari yang hangat dan aroma harum teh melati yang baru saja diseduh.Suara tawa pelan sesekali terdengar dari ruang tamu, tempat Melvin tengah bersantai setelah malam yang panjang dengan si kembar.Di balik matanya yang sedikit sembab karena kurang tidur, ada sorot bahagia yang tak bisa disembunyikan. Menjadi seorang ayah ternyata adalah anugerah sekaligus perjuangan yang tidak pernah dia bayangkan sekompleks ini.Pintu depan diketuk perlahan. Tak lama, suara pelayan menyambut dua tamu yang telah sangat akrab dengan keluarga ini."Selamat pagi, Tuan Davian, Nona Regina. Silakan masuk.”Davian masuk dengan gaya santai khasnya sementara Regina mengekor di belakangnya dengan senyum yang malu-malu. Melvin yang mendengar suara adiknya itu langsung bangkit dari sofa dan berjalan ke arah pintu dengan langkah sedikit goyah akibat kelelahan.“Wah, lihat siapa yang datang. Dua manusia yang masih bisa tidur delapan jam sehari,”
Pagi itu, cahaya mentari yang lembut menyelinap masuk melalui celah tirai jendela kamar. Aroma lembut sabun bayi dan susu formula menguar pelan di udara, berpadu dengan kesunyian yang hanya sesekali dipecah oleh suara lenguh kecil dari dua makhluk mungil yang kini menjadi pusat hidup Thania dan Melvin: Aiden dan Austin.Thania duduk di atas tempat tidur, masih mengenakan baju tidur panjang yang sudah mulai longgar. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya belum sempat disentuh riasan apa pun.Namun ada cahaya berbeda dalam sorot matanya—cahaya yang tak dimiliki oleh siapa pun kecuali seorang ibu yang sedang belajar kembali untuk mencintai proses kehidupan dari awal.Dengan hati-hati, ia mengangkat Aiden dari boks kecil yang ada di samping tempat tidurnya. Bayi itu menggeliat sebentar, lalu kembali diam di pelukan ibunya, matanya masih terpejam. Di sisi lain, Austin masih tertidur pulas, dadanya naik turun dalam irama yang damai."Selamat pagi, Nak," bisik Thania kemudian mencium pelipis Ai
Satu minggu setelah Thania dinyatakan pulih, rumah kembali ramai oleh kehidupan kecil yang baru. Si kembar—Aiden dan Austin—akhirnya diperbolehkan pulang dari ruang inkubator. Perjalanan panjang yang penuh luka dan ketegangan itu seolah perlahan menepi, digantikan oleh harapan baru dalam bentuk dua manusia mungil yang kini menjadi pusat semesta Melvin dan Thania.Saat mobil keluarga berhenti di depan rumah, suasana terasa berbeda. Udara terasa lebih hangat, waktu seolah berhenti sejenak untuk menyambut dua bayi yang baru pertama kali menapaki dunia luar rumah sakit.Asisten rumah tangga lama keluarga Reandra menyambut mereka dengan mata berkaca-kaca. Ia ikut bersyukur, ikut merasakan perjuangan keluarga ini dari jauh.Malam pertama di rumah pun tiba. Thania, masih dalam proses pemulihan pascaoperasi, duduk dengan bantuan bantal di ranjangnya. Ia memandangi Aiden yang tertidur di dalam pelukannya, tangis haru mengendap di pelupuk mata.Malam ini, ia mencoba menyusui secara langsung unt
Malam telah larut ketika Thania terbangun dari tidurnya yang singkat di kamar utama. Bayangan lampu tidur yang temaram memantul lembut di langit-langit, membuat suasana kamar terasa hangat dan tenang.Melvin belum ada di sampingnya. Perut Thania masih sedikit terasa nyeri pasca operasi, namun perasaannya jauh lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Ada semacam harapan baru yang perlahan tumbuh.Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Melvin masuk dengan senyum lebar dan mata berbinar, seakan menahan sesuatu. Ia menghampiri Thania lalu menggenggam tangannya.“Aku tahu kau lelah, tapi bisakah kau ikut aku sebentar?” bisik Melvin penuh antusias.Thania mengerutkan kening. “Ke mana? Ini sudah malam.”Melvin tertawa kecil. “Percayalah padaku. Ini kejutan kecil yang sudah lama kutunggu untuk memperlihatkannya padamu.”Melvin membantu Thania berdiri pelan. Langkah mereka menyusuri lorong rumah yang tenang. Setelah melewati ruang tengah, mereka berhenti di depan dua pintu yang
Setelah berminggu-minggu berada di rumah sakit, menjalani masa kritis, dan melewati operasi besar yang hampir merenggut nyawanya dan bayi-bayinya, akhirnya hari ini tiba. Hari yang telah lama ditunggu. Hari di mana ia bisa pulang ke rumah.Dokter memutuskan bahwa kondisi Thania telah cukup stabil. Luka operasi sesar-nya telah membaik secara signifikan, dan tekanan darahnya pun perlahan kembali normal.Bayi-bayi mereka, Aiden dan Austin, masih harus tinggal di ruang neonatal selama beberapa hari lagi untuk pemantauan lanjutan. Namun, Thania diperbolehkan pulang lebih dahulu agar dapat beristirahat dan memulihkan diri di rumah.Melvin menggenggam tangan Thania erat saat mereka meninggalkan bangsal rumah sakit. Langkahnya hati-hati, memandu sang istri yang masih tampak lemah dan pucat, namun senyum hangatnya menunjukkan betapa kuat jiwa Thania. Wajah itu tetap cantik, meski lelah dan tirus, dan di mata Melvin—Thania tetap menjadi cahaya rumahnya.Perjalanan menuju rumah terasa seperti pe
Ruang sidang dipenuhi ketegangan yang tebal seperti kabut pagi di lembah yang belum tersentuh matahari. Sorotan kamera televisi, suara bisik-bisik dari para jurnalis, dan tatapan tajam dari kursi-kursi pengamat menyatu dalam satu suasana yang menyesakkan.Di kursi terdakwa, Joana Rivelle duduk dengan kepala tegak, namun wajahnya kusut. Rambut panjangnya tampak tidak terurus, matanya merah menyala seperti bara api yang tak kunjung padam.Di kursi saksi, Melvin Reandra duduk tegak dengan setelan jas hitam dan dasi biru tua. Di sampingnya, kuasa hukum keluarga Reandra, serta beberapa pengacara dari pihak jaksa, siap menyambut detik-detik yang paling dinantikan—putusan akhir atas wanita yang hampir merenggut tiga nyawa sekaligus.Ketukan palu terdengar tiga kali.“Sidang perkara Joana Rivelle atas dakwaan percobaan pembunuhan berencana dinyatakan ditutup dengan pembacaan putusan,” suara Ketua Majelis Hakim menggema di seantero ruangan.Semua yang hadir langsung diam. Tak ada napas yang te