Semua Bab Dokter Ajaib Dari Dunia Paralel: Bab 251 - Bab 260

Pagi hari di Kota Wada dimulai dengan hiruk-pikuk yang luar biasa. Udara masih sejuk, namun obrolan warga sudah ramai dipenuhi gosip satu acara yang menjadi bahan pembicaraan nasional.Pesta glamor di mansion Deborah Steel semalam masih meninggalkan jejak panjang. Media sosial dipenuhi foto, video, dan komentar pedas. Semua orang membicarakan pesta itu, dari pejabat tinggi sampai tukang parkir, dari pengusaha sampai pedagang kaki lima.Di warung kopi sederhana Jalan Melati, suasana tak kalah ramai. Beberapa pelanggan setia duduk mengelilingi meja kayu yang sudah mulai kusam dimakan waktu. Asap rokok mengepul, aroma kopi tubruk bercampur dengan gorengan hangat.Di tengah suasana sederhana itu, Bambang Suroso, seorang tukang ojek paruh baya, menatap layar ponselnya dengan penuh semangat."Astaga, lihat video dari Sari Maharani ini," kata Bambang sambil menyodorkan layar ponselnya kepada kawan-kawan seprofesinya. Jarinya gemetar bukan karena lemah, tetapi karena antusiasme seperti anak k

Kebahagiaan Peter yang baru saja menikmati kekuatan Pedang Naga Emas terusik ketika ponselnya berdering nyaring. Nada darurat itu memecah keheningan malam seperti sirene ambulans yang tiba-tiba meraung di gang sempit.Layar menampilkan nama "Niko" dengan tanda merah panggilan darurat, seolah dunia sedang terbakar dan hanya Peter yang bisa memadamkan.Peter langsung menjawab, suaranya serius dan tajam. "Ada apa, Niko? Kau jarang mengganggu malamku kecuali masalahnya benar-benar besar."Suara Niko terdengar tegang, nyaring seperti senar gitar yang sudah menegang dan hampir putus. "Boss, jaringan informasi saya baru saja menangkap pergerakan mencurigakan. Ada beberapa pihak yang mulai mengincar identitas Anda."Peter berdiri, langkahnya pelan menuju jendela. Sorot matanya berubah waspada, seperti singa tua yang mencium aroma pemburu. "Siapa mereka? Jangan bertele-tele.""Pertama, keluarga Bernadus..." suara Niko semakin dalam, penuh penekanan. "Helena, Irene, dan Ted. Mereka kini sibuk m

Pagi hari di kawasan pinggiran Kota Wada, tepatnya di rumah kontrakan sederhana keluarga Hartanto, suasana dipenuhi ketegangan yang pekat. Ruang tamu kecil yang sempit itu kini menjadi arena perdebatan sengit antara seorang pemuda berusia dua puluh tahun dan kedua orang tuanya.Devano Hartanto duduk di sofa lusuh sambil memegang ponsel dengan erat, matanya berbinar penuh keyakinan yang bercampur keputusasaan. Layar ponselnya menampilkan iklan berwarna-warni dari sebuah agen tenaga kerja yang menjanjikan upah fantastis untuk bekerja di luar negeri."Bapak, Ibu, ini kesempatan sekali seumur hidup," Devano berkata dengan suara bergetar antara semangat dan putus asa. "Kerja di Kamboja, upah sepuluh sampai dua puluh juta per bulan. Kita bisa keluar dari kemiskinan ini."Wajah Hartanto Suryadi, ayah Devano, tampak lelah dan penuh kekhawatiran.Pria berusia lima puluhan itu bekerja sebagai buruh bangunan dengan gaji pas-pasan, tubuhnya sudah mulai sakit-sakitan karena kerja keras bertahun-ta

Kegelisahan Devano semakin bertambah ketika dia mendengar suara langkah kaki berat di koridor. Suara itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya, seolah seseorang sedang mengamati dari luar.Devano menahan napas dan tidak berani bergerak. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, langkah kaki itu akhirnya menjauh dan hilang di ujung koridor."Ada yang tidak beres dengan tempat ini," Devano bergumam sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. "Tapi sudah terlanjur sampai sini. Semoga besok lebih baik."Malam itu Devano tidak bisa tidur nyenyak. Mimpinya dipenuhi dengan bayangan-bayangan gelap dan suara-suara aneh yang terus mengganggu. Setiap kali hampir tertidur, tubuhnya tersentak bangun karena rasa sakit yang semakin tidak normal.Pagi hari kedua, kondisi Devano semakin memburuk. Rasa sakit di pinggang kanannya semakin intens, dan dia mulai merasakan mual yang tidak tertahankan setiap kali mencoba makan."Mr. Chandra, saya merasa tidak enak badan," Devano melaporka

"Pasien ini butuh penanganan proper di rumah sakit, bukan eksperimen di klinik... tradisional."Peter berhenti sejenak, lalu menatap Dr. Marcellus dengan pandangan yang membuat dokter muda itu merasa seperti serangga di bawah kaca pembesar."Dokter Marcellus, silakan tunjukkan kepada saya bagaimana teknologi canggih di rumah sakit, yang menurut Anda bisa menumbuhkan kembali organ yang hilang," ucap Peter tawar.Dr. Marcellus langsung tercekat tidak bisa menjawab.Namun Peter tak memberinya kesempatan. Dia melanjutkan dengan nada yang semakin dingin, "Atau mungkin Anda punya mesin ajaib yang bisa mencetak ginjal baru dalam hitungan menit?"Keheningan yang menyakitkan mengisi ruangan. Dr. Marcellus merasakan betapa bodohnya dia baru saja terlihat di hadapan keluarga pasien."Saya... saya hanya ingin memastikan pasien mendapat penanganan terbaik," Dr. Marcellus terbata-bata dengan wajah memerah malu."Kalau begitu, silakan keluar dan biarkan saya bekerja," Peter berkata dengan nada final