Lahat ng Kabanata ng Kekuasaan dan Kemakmuran: Kembalinya sang Pewaris: Kabanata 21 - Kabanata 30

"Kau tau, miskin? Siapa yang telah membuatmu mengalami semua penderitaan itu?" Sudut bibir Nathan terangkat membentuk senyuman licik. "Adalah ... aku!" Ferdi, dengan senyum sama liciknya menimpali, "Makanya, kalau sudah tahu miskin itu jangan coba main-main dengan orang kaya dan berpengaruh seperti kami. Itu lah akibatnya. Sekarang, kau menyesal, 'Kan?" Melihat Seno yang hanya terdiam dengan memasang ekspresi wajah dingin, Nathan geregetan bukan main. "Apa yang kau tunggu berengsek! Segera minta maaf dan bersujud di kakiku! Kalau perusahaan keluarga istrimu ingin tetap mendapatkan suntikan dana dari keluargaku!" tegas Nathan dengan berapi-api. Kini semua orang kompak menatap ke arah Seno, menunggu pria itu melakukan permintaan Nathan. Tanpa mengatakan apa-apa, tubuh Seno luruh ke lantai, di hadapan tuan muda keluarga Damanik tersebut. Selagi semua orang tengah menyeringai, kecuali Shinta yang berdiri tak tenang sebab cemas, tiba-tiba suara Seno terdengar. "Aku minta maaf karena

"Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana, S-seno?" tanya Nina. Darius yang sudah tersadar buru-buru menimpali, "Jangan bilang kalau kamu mendapatkannya dari teman kakekmu yang sebelumnya meminjamkan uang untuk biaya operasi Felicia?" Darius menebak dengan pandangan memicing seraya menunjuk muka Seno. Mendengar itu, Ferdi dan Nathan terbeliak. Lantas, saling pandang. Jadi, Felicia sudah dioperasi? Dan Seno yang mendapatkan uangnya dari teman kakeknya? Mereka berdua belum tahu hal itu. Di titik ini, tiba-tiba Nathan teringat sikap santai juga berani yang ditunjukan Seno kala itu. Pantas saja, sebab ternyata Seno sudah mendapatkan uangnya! Kala memikirkan hal itu, wajah Nathan seketika berubah. Ia tidak terima Seno mendapatkan uang operasi anaknya dan juga mendapatkan uang lainnya untuk menyuntikan dana ke perusahaan milik keluarga istrinya. Sementara Shinta yang terkejut sekaligus kebingungan angkat bicara, "Apakah kamu dapat uang itu dari Nona Tara juga, Sen?!" Mendengar nama itu

Bagaimana tidak, Seno melihat kondisi kakeknya terbaring lemas dengan kedua mata terpejam di atas dipan kayu. Hal tersebut membuat Seno berpikir yang tidak-tidak! "Apa yang terjadi denganmu, kek?!" ucap Seno kian panik seraya menggoyang-goyangkan tubuh sang kakek. "Kek, kumohon, bangun, jangan tinggalkan Seno. Seno belum sempat–" "Aku belum mati, Seno!" potong Mahendra mendadak, yang membuat Seno terlonjak kaget. Ia pun buru-buru menatap wajah sang kakek yang kini dalam keadaan kedua mata yang masih terpejam. Kakeknya baik-baik saja? Tidak terjadi hal buruk padanya? Selagi Seno terdiam kaget, Mahendra membuka mata secara perlahan. Namun, pria tua itu tidak bereaksi apa pun saat melihat Seno muncul di hadapannya. Padahal, ia sudah tidak bertemu dengan sang cucu selama satu tahun lamanya. Tanpa mempedulikan kakeknya yang seharusnya terkejut atau pun senang, Seno langsung duduk di tepi dipan seraya menghela napas lega. Barusan, ia begitu panik. Disaat yang sama, takut kehilangan

"Betapa bahagianya kakekmu ini?!" tanpa sadar, Mahendra berbicara dengan kedua mata memanas. Seno mendongak perlahan demi menatap kakeknya dan tercenung begitu melihat kedua mata sang kakek berkaca-kaca. Sementara itu, tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam suasana melo ini, Mahendra buru-buru berkata lagi setengah mengusir. "Cepat. Pergi lah. Supaya kamu tidak mendapatkan omelan dari keluarga istrimu. Aku lebih senang tinggal di sini. Lagi pula, banyak tetangga dan anak-anak desa yang belajar denganku. Kalau terjadi apa-apa denganku, ada mereka. Jadi, aku tak sendirian!" "Kalau kau mau membalas budi, kunjungi lah kakekmu sesekali yang kadang butuh seseorang yang kumarahi dan teman cerita." Seno tersenyum kecil seraya menganggukan kepalanya. Kini, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Untuk saat ini, ia hanya perlu menurut dengan kemauan kakeknya. "Kalau gitu, aku pamit, kek," ucap Seno seraya bangkit berdiri. "Jaga diri kakek baik-baik di sini. Kalau kakek masih menganggapku cu

Sejak awal, Seno sudah tersulut emosi sebab cara penagihan debt collector yang kasar serta senantiasa mengumpat. Demikian, dept collector itu sengaja menyerang mental para peminjam. Sehingga ketakutan dan buru-buru membayar. Seharusnya jika dia adalah renternir atau pegawai dari bank-bank kecil masih menggunakan bahasa halus. Merasa hal itu tidak wajar, Seno meminta bukti-bukti yang menunjukan kalau ia memang memiliki hutang. Namun, ternyata sang dept collector dapat memberikan bukti. Betapa kaget juga bingungnya Seno saat ia mendapatkan kartu identitasnya tertera di foto yang dikirimkan oleh dept collector, serta bukti transaksi peminjaman atas nama dirinya. Seno refleks menggelengkan kepalanya sebab ia merasa tidak mengajukan pinjaman sebesar 10 juta tersebut. Ini pasti ada yang salah! Apa yang sebenarnya terjadi? pikir Seno. Belum usai keterkejutan yang dirasakan Seno, ia harus kembali dibuat kaget saat mengetahui jangka waktunya yang hanya satu minggu saja dan hari ini ter