All Chapters of Istri Palsu Grand Duke : Chapter 101 - Chapter 110

Kastil Vordane seharusnya menjadi benteng ketenangan di tengah kekacauan yang melanda kekaisaran. Namun pagi itu, udara di dalam terasa berat dan menyesakkan.Keheningan yang menyelimuti dinding-dinding batu bukanlah keheningan yang damai, melainkan keheningan yang menunggu. Seolah seluruh kastil menahan napas — menanti pukulan palu takdir yang sudah terangkat tinggi.Para pelayan bergerak tanpa suara, langkah-langkah mereka terdengar seperti desis tikus di koridor panjang yang lembap. Di menara-menara, para penjaga berdiri tegak, tangan mereka selalu di dekat gagang pedang. Di udara, tercium samar aroma logam dari bengkel pandai besi — pertanda pedang-pedang sedang diasah, meski belum ada perang di gerbang.Di ruang kerja utama, Lady Celeste duduk di balik meja kayu hitam besar, menatap kosong ke taman mawar di luar jendela. Mawar-mawar itu bermekaran indah, merah dan putih, seolah mengejek keputusasaan yang mengeram di dalam hatinya."Seandainya aku bisa membagi tubuhku seperti hat

PRANG!Nampan perak berisi makanan yang nyaris tak tersentuh itu dilempar ke dinding batu, isinya berhamburan di lantai yang dingin. Mathilda berjalan mondar-mandir di dalam selnya di puncak menara utara seperti seekor serigala yang terkurung.Gaun sutra Mathilda yang indah kini kusut dan ternoda, wajahnya yang cantik dipelintir oleh amarah yang bengis."Wanita tua licik!" umpat Mathilda, menendang kursi kayu hingga terbalik. "Beraninya dia mengurungku di sini! Dia pikir dia sudah menang? Dia pikir aku akan membusuk di sini seperti tikus?! Aku adalah Mathilda von Vordane!"Mathilda berhenti, napasnya terengah-engah, dan menatap ke luar jendela berjeruji yang sempit. Pemandangan taman Vordane yang indah terbentang di bawahnya, sebuah siksaan yang sempurna. "Lihat saja, Celeste," desisnya pada angin. "Saat aku keluar, taman mawarmu itu akan menjadi hal pertama yang kubakar hingga menjadi abu.""Dan Darren... Si pangeran bodoh

Suara roda kereta berhenti dengan decit panjang di pelataran istana kekaisaran. Debu belum sempat turun ketika pintu terbuka lebar, dan Lady Celeste turun dengan langkah cepat, gaunnya yang kelam tersapu angin musim dingin. "Cepat, Elespht," ujar Lady Celeste, menatap ke arah dua penjaga gerbang perunggu yang berdiri kaku.Salah satu pengawal menatap ragu. "Yang Mulia Lady Celeste, maaf… atas izin siapa Anda datang?"Celeste menegakkan dagu. “Atas izin darah yang masih mengalir di tubuhku. Aku Lady Celeste Vordane ingin bertemu dengan suaminya—count Albercht."Suara lady Celeste tajam, mengiris udara seperti bilah. Para penjaga saling berpandangan, lalu memberi isyarat untuk menunggu."Aku tidak punya waktu untuk menunggu!" Celeste berseru, suara itu menggetarkan aula depan. "Kau tahu siapa yang sedang berada di lembah? Leonhard Vordane! Dan jika kalian tak segera biarkan aku masuk, darah yang tumpah di sana akan menjadi dosa istana ini!"Suasana menegang. Bahkan angin yang lewat s

BRAAAK! SWISSSH!Suara panah-api menghujam perisai kayu pasukan Vania berpadu dengan teriakan prajurit yang terluka. Di seberang sungai, pasukan Kekaisaran yang dipimpin Jendral Malakor—seorang raksasa berjanggut pirang dengan kapak ganda—mulai menyeberangi jembatan darurat yang nyaris runtuh."Pertahankan posisi!" teriak Vania, parangnya berayun di udara seperti menari. Sret!Satu tebasan brutal, parang itu berhasil menebas leher seorang penyerang. "Jangan biarkan mereka merebut jembatan!"Syut, syut, syut!Theo, dengan ketepatan mematikan, melepaskan anak panah demi anak panah dari balik barikade. Setiap panah menemukan sasaran di celah zirah musuh. "Geon! Sayap kiri mereka lemah!" teriak Theo. "OKAY! AKU YANG AKAN URUS!" Geon mengaum, melompat ke depan seperti banteng terluka. Kapaknya berputar-putar menciptakan tornado kematian. "DATANGLAH KALIAN ANJING-ANJING KAISAR! RASAKAN KAPAK GEOOON!"KRAAK! PLUNG! Sebuah tubuh terbelah dua dan terjatuh ke sungai.Tapi pasukan Malakor te

Fajar baru saja menyingsing di atas Ibukota, mengirimkan cahaya kelabu yang pucat ke pelataran utama Istana Kekaisaran. Udara pagi terasa beku, menggigit kulit, dan membawa serta aroma logam dingin, keringat kuda, dan kulit yang baru dipoles. Ribuan prajurit Legiun Pertama dan Ketujuh—pasukan paling elit Kekaisaran—berdiri dalam formasi yang sempurna. Kaki mereka yang dibalut sepatu bot baja menghentak-hentak pelan di atas paving batu di pelataran, menciptakan gemuruh rendah seperti badai yang tertahan.Di atas mereka, panji-panji perang bergambar elang emas berkibar angkuh, siap untuk terbang dan mencabik-cabik mangsanya.Di barisan terdepan, Kaisar Edmure duduk tegak di atas kuda perang hitamnya yang raksasa, 'Nightfall'. Zirah hitam legamnya yang dihiasi ukiran emas membuatnya tampak seperti dewa kematian yang turun dari singgasananya. Di samping Edmure, Count Albrecht Vordane duduk kaku di atas kudanya, wajahnya sekeras batu, matanya menatap lurus ke depan, berusaha menyembunyik