Semua Bab Kutukan Mantan Terindah: Bab 111 - Bab 120

Cahaya chandelier kristal menerangi ruangan mewah yang dihiasi dengan rangkaian bunga putih dan emas. Aroma melati dan mawar berpadu dengan wangi dupa yang dibakar khusus untuk upacara sakral ini. Tamu undangan duduk rapi dalam balutan pakaian adat yang elegan—para pria dengan beskap atau jas tradisional, sedangkan para wanita cantik dalam kebaya dengan warna-warna lembut.Di sebelah kanan, keluarga besar Juhar duduk dengan wajah bangga dan haru. Mami Narumi mengenakan kebaya biru navy dengan bordir emas, sesekali mengusap mata yang berkaca-kaca. Di sampingnya, Papi Barra tampak gagah dalam beskap coklat, dadanya membusung penuh kebanggaan melihat putra sulungnya.Di sebelah kiri, keluarga Zura hadir lengkap. Amma Gista duduk di barisan terdepan dengan kebaya cream yang anggun, mata beliau tak lepas dari putrinya. Ayah Ravi dalam balutan jas tradisional hitam, sesekali tersenyum sambil mengangguk pada para tamu yang menyapanya. Dia sengaja menyusup pada barisan keluarga Zura untuk me

Acara resepsi pernikahan Zura dan Zain digelar mewah dan meriah. Ratusan tamu undangan telah memenuhi ballroom ketika pasangan pengantin baru itu bersiap turun.Keduanya kini sedang berada di dalam lift— sebentar lagi akan membuat para tamu terpukau. Sayangnya, pengantin pria tumbang. Gara-gara setiap hari lembur di kantor. Alasannya ingin menyelesaikan pekerjaan agar bisa honeymoon dengan tenang. Zain masih terlihat pucat namun panasnya sudah turun. Meski masih demam tapi suhu tubuhnya tidak tinggi seperti tadi sore. Saat lift terbuka, keduanya telah ditunggu oleh Zivanya dan diarahkan menuju ke ballroom."Kamu yakin kuat?" bisik Zura sambil menggenggam tangan suaminya yang masih terasa hangat.Zain mengangguk pelan, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Untuk kamu, aku pasti kuat."Zivanya segera mengecek penampilan keduanya sekali lagi. Make-up artist dengan cekatan memperbaiki riasan Zain yang sedikit luntur karena keringat demam. Sementara itu, Zura tetap terlihat sempurna dala

Malam harinya, suasana kamar Zain yang tadinya tenang mulai ramai ketika keluarga berdatangan untuk menjenguknya. Zura yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah langsung berdiri menyambut kedatangan mereka.Mami Narumi memasang wajah cemas bercampur kesal begitu melihat Zain yang masih terbaring lemah di ranjang, dia langsung menghampiri sambil menggeleng-gelengkan kepala."Astaga, Zain! Mami bilang apa kemarin?" Mami Narumi langsung mengomel sambil memeriksa kondisi anaknya dari atas hingga bawah. "Jangan terlalu memaksakan diri saat bekerja! Lihat kan, kamu malah drop kayak gini. Gimana sih?""Mi, aku udah baikan kok," jawab Zain dengan suara masih agak lemah sambil tersenyum kecil. "Besok sore juga udah boleh pulang.""Baikan? Lihat tuh muka kamu masih pucat!" Mami Narumi tidak puas dengan jawaban anaknya. "Untung ada Zura yang jagain kamu. Kalau enggak, entah gimana jadinya."Zura yang mendengar namanya disebut langsung mendekat. "Mami jangan terlalu khawatir. Mas Zain mema

Suasana apartemen sangat tenang, hanya terdengar suara AC yang berdenging lembut dan sesekali suara kendaraan dari jalanan yang jauh di bawah. Sejak pulang dari rumah sakit tiga jam yang lalu, Zain memang tidak bisa lepas dari Zura. Seperti magnet yang saling tarik menarik, dia selalu mencari alasan untuk berada dekat dengan istrinya."Mas, duduk dulu di sofa. Aku mau bikinin teh hangat," kata Zura sambil menuntun Zain ke ruang tamu yang nyaman dengan sofa besar berwarna abu-abu."Gak mau sendirian," jawab Zain sambil melingkari pinggang Zura dengan lengannya, menyandarkan kepalanya di bahu sang istri. "Aku mau ikut."Zura terkekeh geli melihat tingkah suaminya yang seperti anak kecil. "Mas, dapur sempit. Nanti malah ganggu aku.""Gak ganggu kok. Aku diem aja," Zain menatap Zura dengan mata memohon yang membuat hati sang istri luluh. "Please?""Iya deh," Zura menyerah sambil menggeleng kepala, tapi senyum tipis mengembang di bibirnya.Di dapur, Zain menepati janjinya untuk diam, tapi

Zura dan Zain seharian hanya berada di atas kasur.Hari terasa seperti milik mereka berdua saja. Dunia di luar apartemen seperti terhenti, dan waktu seolah berjalan lambat hanya untuk membiarkan dua hati yang baru bersatu ini saling menjelajah lebih dalam.Mereka tidak ke mana-mana. Sarapan pun tidak sempat dimasak. Zain hanya memesan bubur ayam dan sate-satean lewat aplikasi. Saat makanan datang, mereka makan di atas ranjang sambil bersandar di kepala ranjang, mengenakan pakaian seadanya—masih dengan jejak-jejak keintiman yang belum sepenuhnya hilang dari wajah keduanya.Zura, meskipun tubuhnya mulai terasa pegal, tidak mengeluh sedikit pun. Ada senyum bahagia yang selalu terpatri di wajahnya, terutama saat Zain menyentuh pipinya dengan penuh cinta atau memeluknya tiba-tiba dari belakang.Setelah makan siang, mereka kembali larut dalam pelukan dan ciuman. Mengulang keintiman yang menjadi favorit mereka sejak pagi tadi. Tidak selalu dimulai dengan gairah, tapi seringkali hanya dengan