Semua Bab Perjalanan Waktu Sang Gadis Desa: Bab 21 - Bab 30

Deru suara mobil menyapu jalan yang basah karena hujan. Polusi beterbangan di mana-mana. Zaman ini memang maju, tapi kerusakan pun terjadi di belahan bumi. Reihan masih fokus dengan setirnya. Tidak memperdulikan suara bising yang dihasilkan berbagai macam alat transportasi. Hingga akhirnya, Reihan sampai pada sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat benda-benda bersejarah. Termasuk kalung yang dipakai oleh Anna. Namun, kalung yang bernama kidung kala itu tengah hilang secara misterius. Dan belum ditemukan sampai sekarang. Sampai pihak museum melihat postingan di media sosial yang di post oleh orang yang tidak dikenal, dan mereka sedang memburu orang tersebut. Benda itu adalah benda bersejarah yang tidak boleh menjadi milik pribadi. “Halo, Nak, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang kakek tua pada Reihan. Reihan yang sedang fokus melihat-lihat pun tertegun ulahnya. Kemudian, memasang senyum ramah. Lalu, berkata, “Ah, iya, Pak, saya sedang mencari informasi tentang benda

“Kenapa kamu malah balik bertanya?” Anna menggeram pria di depannya ini sungguh diluar nalar. Bisa-bisanya, dia menyuruh Anna memakai pakaian yang sama sekali tidak ada lengannya. Dan baju itu terlihat sangat pendek, bahkan seperempat paha Anna saja, mungkin tidak akan tertutup. “Ini baju, apa kain perca?” Reihan terkekeh pelan, “Baju ini sedang trend!” seru Reihan. Anna mengerutkan dahi bingung, matanya menyipit dan tangan gadis tersebut menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Trend?” tanya Anna. Reihan mengangguk singkat, lalu berkata, “Iya, trend. Baju ini sedang trend di kalangan anak muda zaman sekarang,” ucap Reihan menjelaskan. Namun, Anna yang tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Reihan, berdecak sebal. Dia mengibas tangannya di depan dan melempar baju itu ke sembarang arah. “Aku tidak mau pakai baju itu! Trend … trend … apalah itu, aku tidak peduli,” ocehnya. Reihan menghela napas jengah, gadis yang berdiri merungut di depannya ini, sungguh banyak mau. “Terus, kamu ma

“Apa tidak terlalu jahat?” Alio tampak sedikit tidak yakin. “Kamu bilang apa? ‘Terlalu jahat?’ Apa kalian tidak pikir? Kalian sudah Dzolim sama aku!” geram Andreas. “Sudah, jangan berdebat! Ikuti saja rencanaku, aku yakin ini pasti berhasil!” ucap Reihan mantap. Sementara kedua temannya hanya mengangguk setuju. Apa boleh buat, memang mereka akui, ide Reihan tergolong bagus. Entah apa yang sedang mereka rencanakan. Demi obesesi abstrak yang mereka miliki, hingga menghalalkan segala cara agar keinginannya tercapai. … “Kamu bawa apa, Rei? Anna sudah duduk manis di meja makan. Tangan kanannya memegang garpu dan tangan kiri gadis itu memegang sendok. Reihan tersenyum manis, dia mengeluarkan satu kotak makanan cepat saji yang dibelinya di sebuah restoran. “Ini! Makanlah!” ujarnya sembari menyodorkan kotak berisi makanan tersebut ke depan Anna. Anna menyambutnya dengan senang hati. Senyumnya begitu sumringah. Dengan tidak sabaran, Anna membuka bungkus makanan tersebut dengan

“Kau tahu, Amor? Nenek sangat rindu dengan ayahmu!” Samentha menatap jauh ke depan. “Tapi, rasa rindu nenek terhalang oleh rasa benci.” Reihan mendengar ucapan sang nenek dengan seksama, tanpa berniat untuk menyela. Walaupun dia tak suka jika membahas tentang orang tua itu. “Itulah kenapa nenek ciptakan lingkungan kotor!” Kening Reihan mengkerut dia masih tidak paham kolerasi antara lingkungan yang kotor dengan benci dan rindu dengan sang ayah. “Jangan berbelit-belit, Nek! Ucapkan saja dengan jelas!” seru Reihan. “Cepat tidur, karena besok adalah hari pertamamu!” Samentha tidak menggubris ucapan Reihan. Dia lebih memilih pergi dari sana meninggalkan Reihan yang masih kebingungan dengan ucapannya. “Bukannya banyak-banyak berdoa karena sebentar lagi mati. Dia malah membuat teka-teki baru di kepalaku,” geram Reihan. Lalu, melanjutkan kembali acara melamunnya. Setelah dari tempat Reihan. Samentha tidak langsung masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Dia lebih memilih berteriak m

Suara Televisi yang cukup keras menemani ricuhnya ruangan kecil tersebut. Anna berlarian ke sana kemari, karena Regal mengejarnya. Sementara itu, Baho yang juga berada di sana menghela napas jengah. “Sebenarnya yang pasien siapa? Ayah atau Kak Anna, sih?” “Diam Baho, daripada mengoceh lebih baik bantu aku halangi dia!” Napas Regal terengah-engah. Tidak bisa dipungkiri, tenaga gadis itu lebih lincah darinya. “Ayah … tadi Kak Anna anteng, tapi suara ayah mengacaukan semua!” omel Baho. Anna tetap berlari sekuat yang dia bisa. Meski napasnya seperti akan habis, kakinya tidak berhenti berlari. “Aku ingin keluar dari sini!" Dia berteriak histeris. Melihat Anna yang mulai kehabisan tenaga, Baho pun berusaha menghalangi Anna. Dia menutup jalan gadis itu. Buk! Tubuh Anna terbentur di Badan Baho. Tangan kurus remaja lelaki itu langsung memeluk Anna erat. Anna pun langsung memberontak. “Lepaskan aku, Baho!” Baho tetap memeluk gadis itu. Jujur saja, dia juga tidak mau Anna pergi d