Semua Bab Perjalanan Waktu Sang Gadis Desa: Bab 41 - Bab 50

Detik jarum jam mengiringi keheningan yang diciptakan Ronald. Setelah mengucapkan satu kalimat yang membuat semua penasaran. Kini Ronald hanya diam seribu bahasa. Lelaki itu tidak terlihat ingin melanjutkan ucapannya sama sekali. "Apa yang kamu maksud, Ronald?" tanya Samentha. Ronald terkekeh, dia tidak benar-benar ingin melanjutkan ucapannya. "Kembalikan kalung Anna, Amor!" Pria itu malah mengubah topik pembicaraan mereka. Mendengar hal itu, membuat Anna kembali teringat dengan kalungnya. Dia bergegas menghampiri Reihan. "Iya, Rei. Mana kalungku?" "Kalung apa?" tanya Samentha. "Kalungku, Nek! Kemarin aku menitipkanya pada Reihan!" jawab Anna. Samentha mengangguk paham. "Kembalikan kalung gadis ini, Amor! Lalu, usir dia dari rumah ini, aku tidak mau melihat wajahnya di rumah ini lagi. Reihan gelagapan, kalung itu kini ada di tangan Alio. Jika dia memint

Malam ini tak ada bintang yang menggantung di langit. Hanya bulan yang terlihat sedikit redup dan seperti sangat kesepian. Empat orang sedang duduk di sebuah meja restoran. Mereka saling memandang tak ada yang berniat memulai bicara lebih dulu. Hingga, suara Alio membuyarkan keheningan malam itu. "Maaf, Rei! Aku benar-benar tidak sengaja." Alio menunduk, dia tidak sanggup melihat tatapan tajam yang diberikan Reihan padanya. Ditambah tatapan dua orang yang juga berada di meja itu. "Tapi, kenapa harus kalung itu, Al? Kalau kalung itu sekarang dimuseumkan, sangat susah untuk mengambilnya!" Nada bicara Reihan terdengar membentak. Sementara, Anna, sang empunya kalung yang menyandang nama kidung kala itu hanya termenung tanpa kata. Tatapannya kosong, dia sangat menyayangi kalung itu. Dulu, Roro—Ibu Anna rela begadang untuk menyelesaikan ukiran di permata kalung tersebut. "Aku harap! Kalian bisa mengambil kal

"Apa ini orang yang kakek maksud?" Reihan menyodorkan handphone miliknya. Memperlihatkan foto Alio pada kakek tersebut. Mata kakek tua itu memicing. Dia memerhatikan setiap sudut foto itu dengan seksama. "Bukan!" serunya menggeleng. Dahi Reihan mengkerut, kalau bukan Alio, siapa lagi? Reihan hendak memasukkan telponnya kembali ke dalam kantong celananya. Akan tetapi, pergerakan pria tinggi itu dihentikan. "Tunggu, Nak Rei! Sepertinya pria itu yang datang ke sini," ujar Kakek tersebut. Reihan memandangi foto itu lagi. Matanya membelalak ketika melihat ada Andreas yang ikut masuk dalam foto tersebut. Tanpa tunggu lama, Reihan langsung memperbesar dan memfokuskan pada wajah Andreas. "Pria ini?" tanyanya. Kakek itu mengangguk, dia sangat mengingat wajah pria yang mendatanginya dan memintanya untuk berbohong pada Reihan. "Apa Kakek yakin? Tapi, temanku yang ini s

"Itu Andreas?" Mata Reihan nyalang ketika mendapati sosok yang sangat mirip dengan sang sahabat. Anna menoleh, gadis berambut panjang itu menyimpan trauma tersendiri pada wajah itu. "Bukan aku yang bunuh dia!" Sontak gadis itu menutup kedua telinganya. Badannya begitu gemetar ketika nama itu disebut. Reihan menoleh, fokusnya teralihkan pada Anna yang berteriak di sampingnya. "Kamu kenapa, Anna?" Dia menepikan mobilnya terlebih dahulu sebelum memastikan keadaan gadis yang histeris di sampingnya. "Bukan aku yang bunuh dia! Dia yang berusaha melecehkanku, aku hanya membela diri!" Ucapan itu terdengar lirih. Melihat Anna yang semakin gemetar, Reihan berusaha menenangkannya. Entah sadar atau tidak, Reihan memeluk gadis itu erat. Mengelus punggung Anna yang naik turun karena menangis. "Kamu kenapa? Coba cerita padaku!" ujarnya lembut. Reihan kembali melirik keluar jendela mobil. Pria yang tadi dilihatnya, sudah tidak berada di sana. Jika dia salah lihat, kenapa Anna juga melihatny

Burung-burung berkicau, angin menggerakkan pohon rindang. Aroma tanah basah menyeruak di mana-mana. Kini, Anna, gadis itu tengah duduk di tengah gubuk tua beralaskan tanah. Entah ke mana pikiran pria itu. Sungguh gila, tak masuk logika.“Anna, ini kayu bakarnya!” Reihan berlari masuk ke dalam. Tangannya mengenggam ranting kayu basah. Anna menghela napas jengah, penampilan pria itu tak ubahnya seperti gombal. Tapi, apa? Dia hanya membawa lima ranting kayu, dan itu pun kayu yang basah. “Pakai logika kalau mau melakukan apa-apa, Rei!” Reihan melongo, dia menjatuhkan kayu bakar itu dan mendekati Anna dengan cara duduk di sampingnya. “Emang apa yang salah?” tanyanya dengan tatapan tak berdosa.Anna mendorong wajah sok polos Reihan menggunakan telunjuknya. “Menjauh sedikit!” Reihan terkekeh, dia sangat suka mendekatkan wajah pada gadis itu. “Maaf! Kalau dilihat lebih dekat, kamu lebih cantik!” Matanya mengerjap beberapa kali. Senyumnya begit