Semua Bab Perjalanan Waktu Sang Gadis Desa: Bab 31 - Bab 40

“Aku ingin menikahinya,” ujar Reihan tanpa Ragu. Sontak ucapan Reihan membuat Ronald sedikit terkejut. Pria itu yakin, Reihan tidak bersungguh-sungguh ingin menikahi gadis itu. Ronald berusaha menampilkan wajah datar. “Baik, Tuan! Aku akan mencari Nona Anna,” ujarnya. Reihan mengangguk, kemudian menyuruh Ronald agar segera memulai pekerjaannya. … “Baho!” Anna berteriak memanggil Baho. Baho yang sedang fokus bermain game di handphone-nya, mengalihkan pandangan pada Anna. Dia langsung menaruh telpon genggam itu dan tersenyum lembut pada gadis tersebut. “Iya, Kak? Ada apa, nih? Kelihatannya Kak Anna lagi senang,” ujar Baho, dia menyuruh Anna duduk di sampingnya. Anna berhambur memeluk Baho, dia terlihat begitu ceria hari ini. Bagaimana tidak, hobinya yang selama ini tidak dapat tersalurkan karena larangan sang ayah, kini bisa terealisasikan kembali. “Aku senang, terimakasih, ya! Ayahmu mengizinkanku memasak untuk orang-orang,” ujarnya sumringah. Baho tersenyum, dia ik

“Tunggu! Ada apa dengan lenganmu? Kenapa terlihat sedikit bengkok?” Reihan melirik lengan sebelah kanan Ronald. Mata Ronald berkedip beberapa kali, dia menyembunyikan tangannya di belakang. “Aku berkelahi dengan orang yang membawa Anna,” jelasnya. “Orang yang membawa Anna? Apa maksudmu?” Dahi Reihan mengkerut. “Iya, Tuan. Ada yang membawa Anna kabur dan aku mengejarnya. Tapi sayang, pasukannya terlalu banyak dan aku tidak bisa melawannya sendirian,” jelas Ronald berbohong. Entah apa alasan dibalik perkataan bohongnya itu. “Kamu tahu alamat orang itu?” tanya Reihan. Ronald mengangguk, “Iya, aku tahu, Tuan. Jika Tuan Amor mau, aku akan mengantar Tuan ke sana,” ujarnya. “Baik, tolong antar aku sekarang juga!” Reihan melangkah mendahului Ronald yang juga ikut berjalan di belakang. Dia tersenyum miring, ada rasa puas di hati pria itu. “Kena kau, Amor!” … Anna mondar-mandir ke sana kemari. Pikiran gadis itu sungguh tidak tenang. Dia selalu kepikiran dengan janji yang diuca

Anna berlari tergesa-gesa, dia sangat mengenal suara itu. Dengan wajah sumringah perempuan tersebut menghampiri sumber suara. “Rei—” Belum sempat gadis itu memanggil, Anna malah dikejutkan dengan keadaan Ronald yang begitu memprihatinkan. “Berhenti!” teriak Anna lantang. Semua mata tertuju padanya. “Anna?” Kenapa Anna bisa ada di sini? tanya Ronald dalam hati. Berbeda dengan Ronald yang bertanya-tanya. Reihan malah terlihat senang melihat Anna sekarang berada di depan matanya. Dia melepaskan genggamannya dari Ronald. Pria itu berjalan perlahan menghampiri Anna. Melihat Reihan yang berlumuran darah, sontak gadis itu pun melangkah mundur. Dahi Reihan mengkerut, kenapa Anna malah menjauhinya. “Kenapa, Anna?” Anna tidak menjawab, matanya terpaku pada satu benda yang dipegang Reihan di tangan kanannya, pisau. Benda pipih nan tajam itu terlihat sangat mengkilap seperti baru, namun kilapannya sedikit tertutup karena darah. “Jangan bunuh aku!” Tubuh Anna gemetar, matanya terasa

"Cantik?" Mata Anna mengerjap beberapa kali. Pria itu sangat dekat di depan matanya. Reihan gelagapan dia berusaha menjauh. Dan kebingungan harus memakai gaya apa untuk berdiri. Awalnya pria itu berkacak pinggang, namun diubah lagi dengan berdiri sembari memegang hidung. Tapi, satu detik kemudian gaya itu berubah lagi. Kening Anna mengkerut, sepertinya laki-laki yang berdiri di depannya ini sedang belajar menjadi model terkenal. "Kamu kenapa?" "T-tidak ada apa-apa!" Usai mengucapkan hal itu Reihan pun keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan Anna yang masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Anna berusaha duduk, tangannya terasa sedikit perih. "Ishh ... tanganku yang sakit, kenapa bisa-bisanya aku pingsan?" tanyanya. Sementara itu, di sisi lain, terlihat Reihan yang berdiri di depan kaca. Pria tinggi itu menatap dan berbicara pada kaca. Dia menepuk-nepuk pipinya sendiri hingga sedikit meninggalkan bercak merah. "Tidak, Rei. Kamu tidak mungkin menyukai gadis itu," ujarnya

Anna histeris, untuk yang kedua kali, kalung kesayangan yang sebenarnya semenjak dipakai tak pernah dilepas itu hilang. "Kalungku," lirihnya. Anna pun turun dari kasur, dia menyapu setiap sudut ruangan berukuran besar itu berharap kalungnya hanya terjatuh. "Reihan," monolognya. Pikiran Anna langsung tertuju pada pria yang pernah mengelebuinya. "Pasti Reihan yang ambil," ujar Anna, dia berjalan keluar mencari keberadaan pria tersebut. Terlihat Reihan sedang berbicara dengan sang ibu di meja makan. Pria itu seperti kaset rusak, tak ada umpan balik dari sang lawan bicara. Anna melangkah pelan, tak mau mengganggu mereka berdua. "Ibu, apa ibu ingat hari dimana Reihan mendapat penghargaan untuk pertama kalinya?" Mata pria itu berkaca, bulir bening jatuh, namun tak pernah sempat menyentuh pipi. Anna