All Chapters of I Love You First, Mr. CEO: Chapter 31 - Chapter 40

“Apa Geral punya kekasih?”Pertanyaan Rosa hampir membuat Yunda tersedak. Mulutnya yang sedang mengunyah potongan salmon mendadak kaku. Aroma saus lemon butter yang sejak tadi memanjakan inderanya sekejap berubah hambar.Dengan susah payah, Yunda menelan makanannya sebelum menjawab.“Perihal itu, saya juga kurang tahu, Bu.”“Begitu, ya.” Ada nada kecewa yang terselip di suara Rosa. “Kupikir karena kalian sudah berteman lama dan kau juga sekretarisnya, kau cukup tahu tentang kehidupan pribadinya.”“Pak Geral memang tidak begitu terbuka soal kehidupannya,” sahut Yunda, menyembunyikan getir dengan seulas senyum.Rosa hanya mengangguk, lalu kembali mengiris tenderloin di piringnya. Sementara itu, Yunda diam-diam mengamati wajah wanita itu dengan kegelisahan yang perlahan merambat dalam dirinya.“Maaf, kalau saya boleh tahu, kenapa Bu Rosa menanyakan hal ini?” tanyanya hati-hati.Rosa kembali menyeret pandangannya ke arah Yunda, tersenyum sebentar. “Aku hanya penasaran. Sejak kami memutusk

Tubuh Yunda terkulai di punggung Geral, sama sekali tak berdaya. Napasnya terdengar pelan, menyatu dengan langkah berat pria itu menyusuri koridor apartemen. Tas krem milik Yunda menggantung di lehernya, bergoyang setiap kali ia melangkah.Sesampainya di depan pintu, Geral menggeser posisi Yunda agar bisa mengangkat tangan dan memasukkan kode sandi. Namun, belum sempat ia menekan tombol terakhir, pintu terbuka dari dalam.Seorang gadis berambut sepunggung berdiri di balik pintu.“Winda?” ucap Geral tak percaya.Gadis itu sama terkejutnya. Pandangannya langsung tertuju pada sang kakak yang lunglai.“Apa yang terjadi?” tanyanya penuh cemas.Tubuh Yunda yang limbung membuat Geral buru-buru masuk tanpa sempat menjawab. Dia langsung menuju kamar, lalu membaringkan Yunda di atas ranjang dengan hati-hati. Jari-jarinya menyibakkan helai rambut yang menempel di wajah wanita itu sebelum menarik selimut menutupi tubuhnya.“Apa yang terjadi? Kenapa dia sampai seperti ini, Kak?” Winda mengulang pe

Geral keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, handuk kecil menggantung di leher. Hari ini, keluarganya akan mengadakan acara amal di sebuah yayasan panti asuhan. Ini adalah cara sang kakek untuk mengumpulkan keluarga besar di tengah-tengah kesibukan sekaligus menumbuhkan empati kepada sesama.Langkah Geral tercekat begitu sampai di ruang pakaiannya. Ada Rosa di sana, berdiri di depan rak jas yang berderet rapi. Dia yang masih mengenakan kimononya tampak sibuk memilih pakaian.Bibi Eva yang berdiri di luar pintu terlihat canggung. Matanya menatap Geral penuh arti seolah hendak meminta maaf atas sesuatu yang tak bisa ia cegah. Geral memberi anggukan singkat sebelum melangkah masuk.“Pagi,” sapa Rosa dengan senyum hangat seakan kehadirannya di sana adalah hal biasa. “Aku sedang mencari setelan yang senada dengan pakaianku untuk acara sebentar.”Jemarinya menyusuri deretan jas hingga berhenti pada setelan abu-abu gelap. Dia berjinjit untuk mengeluarkannya dari gantungan. “Pakai

Keheningan merambat pekat, menyesakkan ruang di antara keduanya. Geral terdiam seakan seluruh udara tersedot habis oleh kalimat yang baru saja terlontar. Tatapannya membeku, menancap lurus di wajah Rosa.“Jangan pernah ucapkan kata-kata seperti itu, Rosa,” ucapnya kemudian. Dingin dan menusuk.Rosa menelan ludah, menyadari betapa gegabah dirinya.“Aku berterima kasih atas semua bantuanmu. Tapi kuharap garis di antara kita masih cukup jelas untuk tidak dilewati,” imbuh Geral.Ucapan itu menampar Rosa lebih keras dari yang ia duga. Jantungnya merosot ke perut, meninggalkan rongga kosong yang terasa dingin.Tanpa memberi kesempatan bagi Rosa untuk menyusun kembali reruntuhan jiwanya, Geral memutar tubuh. Suara langkahnya menggema di telinga Rosa sebelum akhirnya punggungnya yang tegap menghilang di balik pintu kamar.Tidak seperti dirinya, Geral sama sekali tidak menginginkannya. Sedikit pun.****Yunda meletakkan buket bunga krisan putih di antara dua pusara yang berdampingan. Nama yang

Sejauh mana pun ia pergi, sedalam apa pun ia bersembunyi, Rosa tahu tak akan pernah bisa lari dari Jeffrey. Satu-satunya cara untuk lepas dari bayang-bayang lelaki itu hanyalah dengan melenyapkannya. Andai semudah itu, Rosa sudah melakukannya sejak lama.Malam ini, ia akhirnya membiarkan kakinya melangkah ke sebuah apartemen—yang baginya tak lebih dari neraka berlapis kristal—milik Jeffrey. Pandangannya terpaku pada lampu gantung yang berkilau di langit-langit kamar, sementara tubuhnya diguncang oleh lelaki biadab itu.“Kau membuatku gila, Rosa…” desah Jeffrey di telinganya.Rosa tetap diam, berusaha menahan diri sekuat mungkin meski beberapa kali desahan terpaksa lolos dari bibirnya.“Hahh… hahh…” Deru napas Jeffrey makin menusuk pendengarannya.Rosa memejamkan mata, pasrah menerima guncangan demi guncangan. Jemarinya mencengkeram punggung Jeffrey, berharap agar kuku-kukunya menancap dalam hingga meninggalkan luka yang akan selalu mengingatkan lelaki itu pada kebiadabannya.Meski hat