Semua Bab Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan: Bab 221 - Bab 230

"Kamu mulai berani membantah suami, Rin?! Nggak takut kualat? Apa begini didikan ibu?!" sentak Rama setelah menghela napas panjang. Ririn tersenyum miring, menatap kembali suaminya yang masih meradang. "Jangan bawa-bawa ibuku kalau kamu juga nggak mau bawa-bawa didikan ibumu, Mas. Didikan ibuku jelas benar. Beliau nggak mau ikut campur rumah tangga anaknya. Beliau mendidikku agar jadi istri setia, patuh dan nggak neko-neko. Kamu sudah ngaca apa belum? Bagaimana didikan ibu ke kamu selama ini? Bukannya mendinginkan suasana justru semakin membuat panas. Bukannya nyuruh anaknya setia sama istrinya, justru nyuruh mendua demi mendapatkan keturunan. Apa dia pikir aku mandul? Aku loh sudah tes kesuburan dan dokter bilang kalau aku subur. Nggak ada masalah apapun dalam diriku. Itu artinya Allah memang belum mempercayaiku untuk memiliki momongan. Coba deh kamu ikut tes kesuburan. Dari dulu kan kamu yang selalu nolak, kenapa aku yang disudutkan ibu karena belum memberinya cucu?" balas Ririn p

[Sebenarnya aku nggak percaya, Rin. Tapi--]Ririn membaca ulang pesan dari Sarah. Emosi yang sebelumnya mulai stabil, kini mendadak memuncak setelah membaca pesan itu. Ririn yakin, suami dan mertuanya makin berulah setelah Rama tak berhasil membujuknya pulang. [Tapi apa, Sar? Tolong, katakan biar aku tahu apa yang mereka lakukan di sana]Akhirnya, Ririn membalas pesan itu. Sarah mengetik balasan. Dia pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sarah tak ingin ikut campur, hanya saja jika semua kabar yang dia dapatkan itu fitnah, Sarah pun tak rela jika nama baik Ririn hancur di lingkungan keluarga suaminya. Sarah tahu Ririn orang baik dan tak seburuk yang mereka ceritakan. [Lihat foto ini, Rin. Suami dan mertuamu bilang kalau kamu selingkuh dengan dia. Makanya, kamu nggak mau pulang dan memilih berpisah dengan Mas Rama. Mereka juga bilang kalau kamu matrealistis, dikasih jatah bulanan berapapun selalu habis. Makanya, sekarang memilih lelaki yang lebih mapan supaya dapat jatah bulana

"Sonia sudah berubah kok, Bu. Dia nggak kaya dulu. Sekarang kan lebih dewasa, jadi dia juga sudah cukup paham tentang pernikahan dan kesetiaan. Kalau saat SMA dulu mungkin dia masih terlalu labil dan belum dewasa dalam berpikir. Mamanya, terlihat terlalu matrealistis."Rama membela mantan kekasihnya yang kini menjanda itu. "Kalau matrealistis itu sudah wataknya begitu. Jadi, sampai kapanpun juga sama saja, nggak ada bedanya. Kalau sama dia, bisa jadi lebih parah dibandingkan Ririn. Tensi ibu bisa makin tinggi kalau punya menantu seperti dia, Ram. Pikir baik-baiklah. Lagipula sekarang kamu bukan Rama yang kerja serabutan. Kamu itu manager. Bisa dengan mudah cari perempuan di luar sana. Ngapain pilih janda matrealistis seperti Sonia itu, yang masih single aja banyak," cicit Rukayah lagi. Rama menghela napas panjang. Awalnya dia cukup menggebu ingin menjalin hubungan lagi dengan Sonia, tapi setelah mendengar penolakan ibunya, Rama kembali berpikir untuk berhenti atau melanjutkannya. Di

Surat panggilan sidang sudah di tangan. Rama melemparkannya ke meja begitu saja lalu merebahkan badannya kembali ke sofa. Sementara Rukayah masih saja mengomel tak karuan. Umpatan dan sumpah serapah terucap seolah Ririnlah yang paling bersalah dalam perceraian anaknya. Seakan Ririn yang tak becus menjadi istri dan tak sepantasnya pula dia yang menggugat. "Makanya, kamu harus punya gandengan baru, Ram. Buktikan sama Ririn kalau kamu mudah cari penggantinya yang tentu lebih baik. Biar saja dia kepanasan dan menyesal. Memangnya setelah cerai dari kamu, dia bisa dapat suami manager, mapan, tampan dan berpendidikan lagi?! Nggak mungkin!" cicit Rukayah meluapkan kekesalan dan emosinya. "Sudahlah, Bu. Masalah itu dipikir belakangan. Jangan barengan gini. Aku pusing." Rama mengelak lalu beranjak dari sofa. Dia pergi begitu saja ke kamarnya, sengaja meninggalkan ibunya yang masih saja membicarakan Ririn dengan segala keburukannya. Rukayah duduk di teras rumah. Di sana dia sengaja mendi

Suasana ruang IGD masih cukup ramai. Perawat sibuk mondar-mandir, suara alat medis berpadu dengan langkah kaki. Namun bagi laki-laki itu, dunia seakan berhenti berputar sejak matanya tak sengaja menatap tanda lahir di lengan kiri Ririn.Bentuknya ... sama persis. Bulat tak terlalu besar dan tak terlalu kecil, di lengan tepat di lengan kirinya dekat siku.Ingatan yang sudah lama ia kubur kembali menyeruak. Suara sahabat sekaligus tetangganya di Jogja yang sudah tenang di sisiNya seperempat abad tahun silam kembali terngiang. "Wi, anak bungsuku punya tanda lahir. Lihatlah, mirip punya Keanu. Tapi, Ririn ada di siku kiri sementara Ken ada di lengan kanan. Iya kan?" Senyum Aryadanu kala itu terlihat semringah saat anak perempuan satu-satunya lahir ke dunia. Beberapa kerabat, tetangga dekat dan sahabat datang, termasuk Wicaksono Abdullah dan istrinya. "Benar, Ar. Mirip milik Ken. Kalau hilang kan bisa jadi tanda." Wicaksono menimpali. "Hussstttt. Pamali ngomong begitu, Pa. Nggak boleh