Kabut merah menggantung di atas Desa Tamanilir. Langit tak lagi hitam, tapi memar. Warga desa berdiri mematung seperti arca hidup, mata mereka kosong, tangan saling menggenggam tanpa getar kehidupan. Arga, Liora, Elan, dan Malini berdiri di tengah mereka, napas memburu, jantung berdegup cepat seiring dengan suara dari dalam tanah yang terus menggema erangan, tawa, tangisan, jeritan. Tanah sudah berbicara. Gerbang kelima sudah retak. “Di mana makamnya?” tanya Arga, wajahnya tegang. Wanita tua yang sebelumnya berbicara dengan mereka menunjuk ke timur, ke sebuah jalan sempit yang diapit dua barisan batu nisan tua. Tulisan di nisan-nisan itu telah pudar, banyak yang hanya menyisakan goresan kasar dan samar. Namun yang paling mencolok bukanlah usia makam-makam itu, melainkan kenyataan bahwa... tidak satu pun bayangan muncul di antaranya. Bahkan saat obor yang dibawa Elan menyala terang, cahayanya tidak pernah menyentuh tanah. “Gerbang itu tersembunyi,” kata wanita tua itu denga
Terakhir Diperbarui : 2025-07-21 Baca selengkapnya