Rian Pratama duduk di sudut kafe kecil di Jakarta Selatan, meja kayu tua berderit saat ia menyandarkan lengan. Aroma asap arang dari warung sate kambing di seberang jalan menyusup lewat jendela terbuka, bercampur bau bensin dari motor yang menderu di gang sempit. Lampu neon kafe berkedip pelan, bayang-bayang menari di dinding bata yang retak, seperti rahasia yang menolak disembunyikan. Malam Jakarta terasa seperti lagu yang tak selesai—berisik, basah, penuh nada-nada sumbang. Ponsel Rian tergeletak di meja, layar menyala menampilkan pesan WA dari Naya: Rian, aku baca surat Mama. Apa yang lo tahu soal lagu aku? Ketemu di studio besok.. Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan ritme. Surat ibu Naya (Budi, kenapa kau libatkan lagu Naya?, dan video editan Vita (Naya akui lagu bukan miliknya, mengguncangnya. Apa yang Budi sembunyikan? Dan kenapa Vita terus menekan Naya?Rian meneguk kopi hitam, pahitnya menyengat lidah seperti kebenaran yang ia hindari. Dua tahun lalu,
Last Updated : 2025-10-18 Read more