All Chapters of Istri Kecil Tuan CEO: Chapter 171 - Chapter 180

Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut ke ruang makan mansion Nicholas. Tirai besar berwarna gading membiarkan sinar keemasan menembus ruangan, menimpa meja makan panjang yang sudah tertata rapi. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara, samar bercampur dengan wangi eucalyptus dari balsem di tangan Nicholas.Nicholas memindahkan potongan telur orak-arik ke piringnya dengan tangan kiri. Tangan kanan masih terasa kaku, meski sudah berbulan-bulan sejak kecelakaan itu. Gerakannya lambat, nyaris canggung, tapi Eliza tidak menegur. Ia hanya duduk di seberang, memperhatikan dengan tatapan lembut seperti biasa.“Kalau kamu nggak nafsu makan, aku bisa bawakan roti untuk di mobil,” katanya pelan.Nicholas mengangkat wajah. Matanya tampak sayu, tetapi ada sedikit senyum yang muncul, tipis sekali. “Aku makan di sini aja. Nicola pasti bangun sebentar lagi.”Benar saja. Tak lama kemudian, Sus Tini muncul di pintu, menggendong Nicola yang masih mengenakan piyama bergambar kelinci. Ramb

Hari demi hari berjalan dengan ritme baru bagi keluarga kecil itu. Jadwal terapi Nicholas sudah ditetapkan minggu depan, tapi semangatnya seperti sudah tak bisa menunggu. Setiap pagi, ia menatap kalender di dinding kamar, menghitung hari dengan mata berbinar yang sama seperti dulu saat ia menantikan proyek besar atau rapat penting. Bedanya, kali ini yang ia kejar bukan kesuksesan bisnis, melainkan kesembuhan.Di sela rutinitasnya yang terbatas, Nicholas memupuk semangatnya dengan cara sederhana—memandang wajah Nicola yang tertawa di pelukan Sus Tini, atau menatap Eliza yang sibuk di dapur dengan celemek kebesaran. Bayi kecil itu menjadi sumber tenaganya, tawa mungilnya memecah kesunyian rumah yang dulu terasa megah tapi dingin. Kini, suara Nicola adalah musik terindah bagi Nicholas.Kadang, ketika sore menjelang dan matahari menembus jendela kamar, Eliza mengajak Nicholas menonton film di tempat tidur. Mereka menatap layar kecil di laptop sambil bersandar di sandaran empuk, Nicola ter

Malam itu, kamar mereka diselimuti keheningan. Lampu tidur redup menyorot siluet tubuh Nicholas yang terbaring di ranjang sebelah Eliza. Ia menatap langit-langit, mendengarkan napas pelan istrinya yang membelakanginya. “Liz,” panggilnya pelan.Eliza menoleh sebentar. “Hm?”“Boleh ngobrol sebentar? Aku cuma pengin—”Eliza buru-buru memotong. “Nick, besok kita harus bangun pagi. Kamu juga harus tidur. Badanmu butuh istirahat.”Nada suaranya lembut tapi berjarak. Nick diam, menatap punggung istrinya lama-lama. “Aku cuma pengin denger suara kamu,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.Eliza berpura-pura tak mendengar. Ia mematikan lampu, memunggungi suaminya lagi. “Tidur ya, Nick. Besok pasti akan melelahkan buat kamu,” katanya sebelum menarik selimut hingga ke bahu.Nicholas memejamkan mata, tapi pikirannya justru semakin gaduh. Ada jarak yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang dulu tak pernah ada di antara mereka. Eliza memang masih di sisinya, tapi entah kenapa, kehadirannya terasa se

Pagi datang dengan udara yang masih lembap sisa hujan semalam. Matahari belum sepenuhnya naik ketika Eliza membuka matanya. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang di sebelahnya —Nicholas masih terlelap, napasnya berat tapi teratur. Ia menarik napas panjang lalu bangkit pelan-pelan agar tak membangunkannya. Langkahnya menuju kamar Nicola terasa ringan kali ini. Begitu membuka pintu, Eliza mendapati putrinya sudah terjaga, duduk di boks tidurnya sambil memeluk boneka kelinci. Pipi Nicola tak lagi panas, matanya yang bulat kini memancarkan ceria. “Sayang, kamu udah bangun, ya?” suara Eliza lembut, disertai senyum lega. Ia mendekat, mencium kening bayinya. “Duh, semalam bikin Mama panik, tahu nggak?” Nicola hanya tertawa kecil, menyentuh wajah Eliza dengan tangan mungilnya. Suara tawanya jadi musik pagi yang menenangkan setelah semalam penuh kecemasan. Sus Tini masuk sambil membawa botol susu hangat. “Syukurlah Nona kecil udah mendingan, Nyonya. Tadi sempat bangun jam lima, ta

Begitu mobil mereka berhenti di halaman mansion sore itu, Eliza sudah membayangkan betapa tenangnya suasana rumah setelah seharian di luar. Tapi saat pintu utama dibuka, ia tertegun—dua sosok yang amat dikenalnya berdiri di ruang tamu. “Tante Athena? Ricky?” seru Eliza hampir tak percaya. Matanya membulat, kemudian tubuhnya bergerak spontan, memeluk wanita paruh baya berambut keperakan itu dengan erat. “Astaga… aku kangen banget!” Athena balas memeluknya lembut, air mata menetes di pipinya. “Aku juga, sayang. Sudah terlalu lama.” Suaranya bergetar, penuh kerinduan. Ricky, yang berdiri di samping ibunya, tersenyum lebar sambil membuka tangan lebar-lebar. “Giliran aku dong, Kak Eliza.” Eliza tertawa kecil dan memeluk Ricky dengan hangat. Namun suasana haru itu seketika berubah canggung ketika Nicholas muncul di ambang pintu. Ia terpaku beberapa detik melihat ibunya dan adiknya, lalu sorot matanya melembut namun tetap hati-hati. “Mum… Ricky,” ucapnya pelan. Athena menatap putrany