All Chapters of Jagoan Kampung Merantau Ke Kota: Chapter 81 - Chapter 90

**Dari dalam mobilnya, Widya terus melihat dan memperhatikan pembicaraan yang terjadi antara Mojo dan para preman itu.Ia tak habis pikir, heran setengah mati, ketika melihat para preman yang garang dan galak itu tiba-tiba berubah menjadi ramah dan menyalami Gending pula.“Mengapa sikap mereka berubah setelah Gending membuka kaca matanya?”Nah lho, malah kemudian para preman itu tampak segan pada Gending.Sayangnya, Widya tidak bisa mendengar isi pembicaraan mereka karena jarak mobil yang cukup jauh dari sentra kerumunan itu. Lagipula, semua kaca mobilnya dalam keadaan tertutup.Kejadian yang berlangsung selanjutnya semakin aneh saja ketika ada preman lain yang datang terakhir. Dia adalah seseorang dengan rambut kribo dan memakai kopiah.Widya menduga bahwa preman kribo itu adalah pimpinan dari para preman yang datang pertama tadi.Entah apakah itu hanya trik Gending dalam berdiplomasi, Widya melihatnya kemudian la

**Widya kembali lagi ke dalam kamarnya. Ia langsung mengambil ponsel dan kembali menelepon Kelvin sang pacar.“Babe..,” panggilnya manja, dengan suara merengek seperti mau menangis.“Ya?” Sahut Kelvin dari seberang sana.“Dia menang lagi.”“What..?? He won again??”“Iya, Sayang, dia menang lagi.”“Kamu sudah menerapkan apa yang aku bilang tadi kan?”“Iya, sudah.”“Kamu menghitung secara acak, kan?”“Iya, Sayang, iya..,”“Impossible.”  Sumpah mati Widya tak habis pikir, bagaimana mungkin Gending bisa bermain suit dengan rate kemenangan seratus persen.Dari sekian banyaknya ia beradu suit dengan sang ajudan itu, sejak tadi siang tidak sekali pun ia menang. Satu kali pun!Rasa kesal itu terus dibawa oleh Widya ke dalam tidurnya. Tidur yang tidak tenang dan tidak le

**Dengan kedudukan yang sekarang imbang 2-2, tersisa satu babak lagi untuk menentukan siapa pemenangnya.Ziza merasa amat gugup untuk menerima hasil pertandingan ini nantinya, terlepas akan menang atau kalah.Sementara Gending, hatinya terasa kosong saja. Nothing to lose, alias tidak ada beban.Kecepatan syaraf mata dan tangannya sebagaimana terlatih dengan jurus-jurus Giri Lodaya dengan purna, membuat ia bisa memilih; mau kalah atau mau menang.Ia bisa saja menyapu bersih tiga poin awal, supaya babak keempat dan kelima tidak perlu dimainkan. Akan tetapi, pada saat ini, dengan kearifan dan kebijaksanaannya sendiri, ia memilih untuk kalah!Ia tahu bahwa Ziza membutuhkan pekerjaan tetap untuk menyokong kehidupan keluarganya. Ia juga tahu bahwa Ziza sedang membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ibunya.“Ini adalah hadiah kecil dari aku untuk Ziza.” Batinnya.“Sekaligus ini adalah pelajaran kecil dari aku untuk

**“Hayoo..! Ngaku kamu!” Pekik Miss Widya kalap.Gending menelan ludah kecutnya lagi. Ia mengangkat kedua telapak tangannya ke arah Miss Widya.Menyerah, benar-benar menyerah, berharap disudahi saja adegan kemarahan ini, sekaligus cepat-cepat diturunkan  itu kaki.Gending panik bukan buatan. Matanya melirik kanan kiri, tapi dasar magnet di dalam rok Miss Widya itu begitu kuat, hingga berkali-kali pandangan matanya tertarik ke situ!Ia sebagai laki-laki lajang yang matang, jakunnya sampai turun naik. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, akibat tekanan lutut Miss Widya, juga akibat sesuatu yang lainnya.“Maafkan saya, Miss.., saya sudah mengusahakan yang terbaik.”“Pembohong kamu! Pembohooong..!” Umpat Miss Widya sambil menunjuk-nunjuk dada Gending dengan kasar.“Saya.. saya tidak berbohong, Miss.”“Penipu kamu!”“Saya tidak

**Suatu pagi, aku tersenyum dalam perjalanan turun menggunakan lift.“Mikhail sudah mulai sekolah, Mas.”Tentu saja aku gembira membaca pesan chat dari Iroh ini. Ia kemudian mengirim sebuah foto kepadaku.Dalam foto ini tampak Iroh dan Mikhail sedang berpose di depan sebuah sekolah yang bentuk bangunannya segera aku kenali.Sekolah Luar Biasa ini terletak tidak jauh dari day care tempat Mikhail dititipkan. Di sekolah ini ada dua tingkatan, yaitu TKLB dan SDLB.“Untuk 17 Agustusan nanti, kamu mau ikut lomba apa, Gending?”Pertanyaan Mbak Vera itu membuat aku mengalihkan perhatian dari ponsel yang kupegang pada dirinya.Kami berdua akan pergi ke sebuah kantor rekanan perusahaan. Kali ini aku yang menyopiri Mbak Vera karena kebetulan sopir kantor sedang on duty bersama salah seorang staff purchasing.Belum sempat aku menjawab, rupanya lift yang kami tumpangi ini lebih dulu menyahut dengan suaranya,