Semua Bab Sentuhan Haram Suami Majikan: Bab 11 - Bab 20

Setelah pembicaraan kemarin pagi, hari ini Lidya kembali menghubungi Khanza. Wanita itu meminta bertemu dengan Khanza. Khanza yang sangat membutuhkan ia pun langsung mengiyakan untuk bertemu Lidya setelah Rajendra berangkat kerja. Sebelumnya Rajendra sudah meminta pada Khanza untuk tidak terima ajakan Lidya, tapi Khanza yang sakit hati dengan sikap semena-mena lelaki itu, ia pun terima saja ajakan Lidya. Karena dia juga ingin membalas perbuatan Rajendra yang sudah merenggut kesuciannya. Khanza sudah bersiap diri. Dia akan bertemu Lidya pagi ini. Dia sudah janji dengan Lidya untuk bertemu di cafe yang tidak jauh dari rumah Rajendra. Hanya dengan menempuh perjalanan 15 menit, akhirnya Khanza sampai di cafe. Di sana sudah ada Lidya yang menunggunya. “Maaf, saya sedikit telat,” ucap Khanza. “Tidak apa-apa, Za. Saya sangat senang karena kamu mau membantu saya,” ucap Lidya. “Saya akan membayar kamu jikalau kamu sudah berhasil mengambil berkas itu pada saya, Za. Saya memberimu

Khanza berjalan mondar mandir di dalam ruangan rawat adiknya. Wanita itu sedang mengalami kesusahan. Saat ini kondisi adiknya semakin drop dan itu yang membuatnya bingung. Apalagi saat ini kondisi sang adik semakin memburuk dan dari pihak rumah sakit meminta adiknya untuk pindah ke rumah sakit yang peralatannya lebih lengkap. Sedangkan untuk pindah ke rumah sakit lain membutuhkan biaya. Sedangkan saat ini Khanza hanya pegang uang satu juta rupiah. Yang jelas-jelas itu sangat kurang jauh. Sebenarnya kondisi adiknya Khanza sudah membaik dan bahkan tiga hari ini adiknya itu bahkan sudah bisa makan sendiri, tapi tiba-tiba kondisinya langsung drop. Itu adalah permainan Rajendra. Rajendra meminta dokter untuk menyuntikan obat yang bisa membuat kondisi adiknya Khanza terlihat lemah dan drop, tapi nyatanya itu semua hanya merasa lelah dan ngantuk yang berlebihan dan terlihat seperti kembali drop. Rajendra melakukan itu agar Khanza kembali menemuinya dan meminta bantuannya. “Bagaima

“Ini minum,” ucap Rajendra memberikan segelas air putih untuk Khanza. Khanza tidak terima ataupun berbicara, matanya menatap lelaki di hadapannya itu. “Adikmu bakalan baik-baik saja,” ucap Rajendra yang seakan tahu kalau saat ini khansa sangat mencemaskan adiknya. “Saya sudah menghubungi dokter dan memintanya untuk memberikan pengobatan terbaik untuk adikmu. Dan sekarang adikmu sudah siuman dan mungkin sebentar lagi akan pulih dan bisa juga sembuh total,” ucap Rajendra lagi. Rajendra duduk di sofa dan meletakkan gelas air di atas meja. Begitu juga dengan Arga. Dia juga ikut duduknya di sofa. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Arga penasaran. Dia belum tahu kalau adiknya Khanza sakit dan sekarang di rumah sakit. “Jika kamu tidak percaya, kamu bisa menghubungi tante kamu. Tanyakan pada tante kamu apakah adikmu sudah membaik atau belum,” usul Rajendra. “Adik kamu sakit? Sakit apa?” tanya Arga pada Khanza. Ia terlihat perhatiin dengan Khanza. “Iya, Pak. Adik saya lagi

Khanza berdiri tidak jauh dari brankar. Ia berdiri dengan raut wajah cemas dan terus saja kepikiran ancaman dari orang yang tak dikenal. Tidak berselang lama pintu ruangan dibuka dan masuklah Rajendra. Lelaki itu sudah merasa kondisinya sudah membaik dan ia sudah langsung minta pada dokter untuk pulang. Khanza menghampiri Rajendra dan mengajak keluar dari ruangan tersebut. Khanza kembali menutup pintu kamar, dia tidak mau tante dan adiknya tahu kalau saat ini nyawa mereka terancam. “Pak Rajendra kenapa di sini?” tanya Khanza. “Pak Rajendra itu harus dirawat dulu, Bapak masih sakit.” Khanza takut terjadi sesuatu lagi pada wanita itu. “Keselamatan kalian lebih penting, saya harus jagain kalian, Za. Saya yakin orang yang telfon dan ancam kamu itu Lidya dan keluarganya,” kata Rajendra. “Tanpa Pak Rajen kasih tahu pun saya sudah tahu, Pak. Tapi sekarang ini Bapak lagi sakit, Bapak harus dirawat dulu biar cepat sembuh. Kalau Bapak kayak gini, justru nanti kondisi Bapak bakalan l

Khanza dan Adiknya dan juga Tantenya sudah sampai di kediaman Rajendra. Ia sudah merasa tenang dan bahagia, karena sang adik sudah bisa lepas dari obat-obatan dan bisa pulang dari rumah sakit. “Kak? Lita bantu, ya?” ucap Lita yang menghampiri Khanza di dapur. “Tidak perlu, Dek. Kamu istirahat saja,” kata Khanza sambil tersenyum. “Kakak juga butuh istirahat, jadi sekarang gantian biar Lita yang kerja saja.” Lita mengambil pisau dari tangan Khanza yang sedang memotong daging. “Iya, betul, Za. Kamu juga butuh istirahat,” timpal Neli. Neli menghampiri Khanza dan merangkul pundak keponakannya itu. “Sekarang biarkan Tante yang masak, kamu istirahat saja,” ucap Neli. “Tida, Tante. Khanza tidak capek kok, Kbanza masih bisa masak. Seharusnya Tante dan Lita yang istirahat dan bersantai-santai, kan selama ini Tante dan Lita di rumah sakit terus. Kalian pasti lebih capek dan jenuh,” kata Khanza yang menolak Neli dan Lita mengambil alih pekerjaannya. Dia tidak tega membiarkan tante dan