Lahat ng Kabanata ng Istri Kedua Sang Presdir: Kabanata 51 - Kabanata 60

“Mas Raka, aku—” Neina bingung harus bagaimana mengungkapkan pada Raka kenyataan yang telah terjadi padanya saat ini. “Kamu nggak suka kabar ini?” Nada Raka merendah, khawatir jika Neina akan menolak menikah dengannya. Padahal, itu adalah impian keduanya sejak lama. Menikah muda dan tak ingin menjalin hubungan yang serius lebih lama. “Kalau kamu mau waktu—” Baru Raka hendak memberi waktu untuk Neina jika tak siap. Neina lebih dulu menyela kalimatnya. “Bukan, bukan begitu,” Neina buru-buru menangkis. “Aku… aku cuma… susah percaya.”Raka miringkan kepala. “Mama memang orangnya tegas. Tapi kalau beliau sudah bicara setuju, berarti benar-benar mengizinkan. Aku bisa telepon beliau sekarang kalau perlu.”Raka berusaha meyakinkan Neina yang menurutnya tak percaya dengan kabar yang dibawa olehnya. Neina terdiam. Ingatannya terbang ke momen pertama kali Raka memperkenalkannya via panggilan video: sorot mata ibunya penuh selidik, senyumnya sopan namun kaku. Pertanyaan-pertanyaan mendet

Langit malam menggantung kelabu di atas kepala Neina saat langkah-langkahnya yang gontai terhenti di depan taman kota. Rintik gerimis menggiring langkahnya, seolah ikut merasakan hati yang luka. Lampu jalan yang remang-remang menyinari trotoar dengan cahaya pucat kekuningan, menciptakan bayangan panjang yang meliuk-liuk mengikuti setiap gerakannya. Kota masih bernapas, mengeluarkan desahan lirih dari klakson taksi yang sesekali berbunyi dan tawa samar dari kedai kopi di seberang jalan. Namun, tidak dengan hati Neina. Hati itu terasa mati rasa, beku, dan hancur berkeping-keping.Ia tak tahu ke mana harus pergi setelah percakapan yang terasa seperti cambukan itu. Sakit yang begitu menyayat, bukan sebab orang yang membuat. Tapi, ia yang memulai dan memutuskan. Ia meninggalkan Raka begitu saja, di meja kafe yang belum sempat mereka habiskan pesanan yang baru saja tiba. Gelas kopi yang masih setengah terisi, piring kue yang tak tersentuh, dan sepotong hati yang tergeletak tak berdaya di

“Neina pantas dibenci, Nek. Neina pantas. Neina akan terima, memang pantas dibenci,” ujar Neina dengan begitu lirih menyayat hati. Bu Lela menggeleng pelan, “Nenek yakin. Nak Raka orang baik dan tulus padamu, Nak. Ia tak akan melakukan itu.”Neina terdiam. Ucapan sang nenek sedikit meredakan perasaannya. “Tapi, Nek… kalau nanti ternyata Mas Raka benci Neina? Neina….” Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Padahal, ia sadar jika Raka pantas membencinya. Itu akan jauh lebih baik sebagai pengganti hati pria itu yang kecewa dan terluka karenanya.Bu Lela tersenyum, mengelus pipi Neina. “Kalau kamu terus hidup dengan ‘kalau’, kamu tidak akan pernah benar-benar bahagia. Kebahagiaan itu bukan tentang tidak pernah terluka, tapi tentang berani melangkah walau dengan luka.”Neina menutup mata. Air mata kembali mengalir, namun kali ini lebih tenang, lebih menerima.“Kamu tahu kenapa Tuhan menciptakan malam?” tanya Bu Lela tiba-tiba.Neina menggeleng, penasaran.“Supaya manusia tahu bahwa dal

Ruang kantor Neina terasa sangat sepi, sunyi. Hanya suara pendingin ruangan yang berdesir pelan mengisi kekosongan. Cahaya matahari sore menerobos jendela kaca, menciptakan bayangan panjang di lantai, seolah menunjuk pada kekosongan hati Neina. Ia menatap ke luar, membiarkan air mata yang ditahan sejak tadi akhirnya jatuh bebas, membasahi pipi yang terasa panas. Setiap tetesnya membawa serta beban yang selama ini yang ia pikul sendiri.Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Layar ponsel yang menyala menampilkan angka 12 panggilan tak terjawab dari Raka. Jantungnya berdenyut nyeri. Di bawahnya, lima pesan belum dibaca, semuanya dari nama yang sama."Kamu baik?""Jangan lupa makan siang.""Jaga kesehatan."“Jangan terlalu keras dengan diri sendiri.”“Kapan kita bicara lagi. Mas tunggu.”Neina meremas ponsel itu, buku-buku jarinya memutih. Ia tahu, Raka begitu peduli dengannya, perhatiannya tulus, tanpa pamrih. Namun, ironisnya, perhatian yang tulus itu justru semakin membua

Neina terdiam. Butuh waktu lama baginya untuk menggeleng pelan, sebuah gerakan kecil yang memancarkan ribuan makna. Tidak, ia tidak mencintainya. Karena cinta yang ia miliki sepenuhnya pada Raka. Sebuah kelegaan yang menyakitkan menyelimuti Raka.“Lalu kenapa… kenapa kamu menikah dengannya?” Raka tak bisa menahan dirinya, pertanyaan itu meluncur begitu saja.“Karena aku harus melakukannya, Mas,” jawab Neina akhirnya, suaranya parau dan penuh penyesalan. “Karena hidupku… bukan sepenuhnya milikku lagi.” Kalimat itu memilukan, menjelaskan segalanya tanpa perlu detail. Neina terjebak dalam lingkaran takdir yang tak bisa ia hindari.“Hidupku sudah harus digunakan untuk berbalas budi.” Kegetiran dalam hati yang menyelimuti hati Neina. Raka dapat merasakan itu. Dan ia tak akan menyalahkan takdir yang terjadi pada kekasihnya. Tentu, ia tahu bagaimana perjalanan kehidupan Neina dan neneknya selama ini. Dan mungkin ini kebaikan yang harus Neina balas sebagai gantinya. “Neina…” Raka me