Semua Bab Lari dari Perjodohan, Jatuh ke Pelukan CEO Dingin: Bab 51 - Bab 60

Matahari terbenam sejak satu jam yang lalu, dan Sienna masih di rumah sakit menjaga louise. Ia tahu ia seharusnya pulang dan beristirahat. Namun rasa bersalahnya pada Louise mengalahkan rasa lelahnya sendiri.“Kak, kurasa kau harus pulang.”Ini kedua kalinya Tania bicara dengan kalimat yang sama sejak sore. Wanita berparas campuran asia itu tidak tega melihat wajah Sienna yang pucat harus terus di sini menjaga Louise.“Kau harus beristirahat. Ada aku yang akan menjaga Louise di sini.” Tania menambahkan.Sienna menggeleng, hendak memberikan jawaban yang sama—sebuah penolakan—ketika ketukan pelan terdengar di pintu kamar rawat inap.Tania menoleh pertama, kemudian berdiri. Sienna pun ikut berdiri dari kursinya.Pintu terbuka perlahan. Sosok Brandon dengan mantel hitam dan wajah serius muncul di ambang pintu.“Maaf mengganggu, Nyonya,” ucap Brandon dengan nada sopan tapi jelas mengandung maksud penting. Tatapannya langsung menuju Sienna. “Tuan Sebastian meminta saya untuk menjemput Anda

Sienna memalingkan wajahnya kembali, menolak menjawab. Ia memejamkan mata, seolah berharap bahwa keheningan bisa menyelamatkannya dari pertanyaan konyol Sebastian.Ia tahu, jawaban apa pun akan mengubah arah malam itu. Tapi bagaimana mungkin ia menjawab, ketika dirinya sendiri belum tahu ke arah mana ia sedang jatuh?Maka, diam dan berpura-pura tidur adalah satu-satunya jalan keluar yang tersisa. Strategi ninja ala Sienna Hart.Sebastian memperhatikan gerak-gerik itu dengan tatapan dalam. Bibirnya melengkung tipis membentuk senyum kecil.Tanpa mendesak lebih jauh, ia hanya menarik selimut hingga menutupi tubuh mereka berdua, lalu menurunkan kepalanya ke bantal. Setelah beberapa saat, mereka berhasil tenggelam dalam tidur yang nyaman.Tepat tengah malam, Sienna terbangun saat ponselnya bergetar pelan di atas nakas. Dengan mata mengantuk, ia meraih layar yang menyala dan melihat nama Louise terpampang di sana.“Halo, Loui? Ada apa tengah malam begini? Kau baik-baik saja?” tanyanya cepat

Tania akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisinya benar-benar stabil dan tidak menunjukkan gejala lanjutan. Dokter sempat memberi pesan agar ia tetap beristirahat beberapa hari ke depan, menghindari stres, dan tidak mengonsumsi makanan tanpa label bahan yang jelas seperti sebelumnya.Begitu mereka keluar dari gedung apartemen Tania, Sebastian berjalan di samping Sienna dengan langkah mantap.“Sekarang asistenmu sudah baik-baik saja,” ucapnya tanpa menoleh. “Tepati janjimu untuk menuruti perintahku.”Sienna mengangguk pelan. Tak ada penolakan. Tak ada argumen. Hanya diam yang menghiasi wajah pucatnya.“Kau terlihat seperti mayat berjalan,” lanjut Sebastian. “Beristirahatlah dengan baik di mansion hari ini. Dan jangan berpikir untuk ke rumah sakit lagi untuk menemui pemuda itu.”Sienna tidak perlu bertanya siapa yang dimaksud. Louise—satu nama yang Sebastian selalu sebut dengan nada enggan setiap kali muncul dalam percakapan.Lagi-lagi, Sienna hanya mengangguk. Tapi di dalam diriny

Sienna menarik napas pelan. “Aku tidak pergi seharian,” jawabnya hati-hati. “Hanya beberapa jam.”“Beberapa jam cukup untuk membuat seluruh rumah kalang kabut,” potong Sebastian tajam. “Dan kau pergi begitu saja tanpa memberi tahu siapa pun. Termasuk aku.”Ia menunduk perlahan, menatap langsung ke wajah Sienna. Sorot matanya tajam, penuh curiga. “Kau kelihatan pucat. Kau sakit?”Sienna buru-buru menggeleng. “Tidak. Aku hanya butuh waktu sendiri. Aku merasa sedikit pusing tadi pagi. Jadi aku keluar untuk cari udara segar.”Sebastian tak menjawab. Matanya masih terpaku pada wajah Sienna, seolah mencoba membaca kebohongan yang mungkin tersembunyi di balik tenangnya nada bicara wanita itu.“Aku baik-baik saja sekarang,” lanjut Sienna berusaha terdengar meyakinkan.Sebastian tetap diam. Tangannya bergerak perlahan menyentuh pergelangan Sienna, tapi tatapan matanya tak beranjak.“Wajah kau terlalu pucat untuk seseorang yang baik-baik saja,” gumamnya.Sienna menahan napas sejenak sebelum men

Pagi itu, aroma manis dan roti panggang hangat menyusup lembut ke indra penciuman Sienna saat ia membuka mata.Perlahan, ia menoleh, dan mendapati Sebastian duduk di sisi ranjang mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung rapi. Di tangannya, sebuah nampan berisi semangkuk oatmeal hangat, segelas jus jeruk segar, dan sepotong roti dengan selai stroberi.“Selamat pagi,” ujar Sebastian lembut.Sienna mengernyit. “Apa ini?” tanyanya sambil perlahan duduk.“Sarapan untukmu. Ruth menyiapkan semuanya. Katanya bagus untuk ibu hamil.” Pria itu tersenyum kecil, satu tangannya terulur menyerahkan mangkuk oatmeal.Sienna ragu-ragu menerima mangkuk itu. “Kau tidak harus melakukan ini.”“Aku tahu.” Sebastian menatap istrinya lekat. “Tapi aku ingin.”Sienna tak berkata apa-apa. Perhatian semacam ini terasa asing baginya. Sebastian yang ia kenal tak akan pernah menyajikan sarapan atau menatapnya selembut itu.Ia menunduk, mencoba menenangkan debar di dadanya, lalu perlahan menyendok oatmeal ke m