Suara Tyo pecah, berat dan penuh amarah yang menahan sesak di dadanya.“Kalau berani, hadapi aku, Pa! Jangan hanya berani sakiti Ibu dan adikku!”Langkahnya menghentak lantai marmer yang dingin. Napasnya memburu, dadanya naik turun cepat. Mata Tyo merah, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena luka yang ia pendam. Urat di lehernya menegang, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.Ia maju beberapa langkah. Aura tegang menyelimuti ruangan, udara seperti berhenti berputar. Tatapan tajam Tyo mengunci ayahnya, pandangan yang selama ini selalu ia tundukkan, kini menantang penuh keberanian.Nada suaranya bergetar, tapi tidak gentar.“Aku sudah cukup diam, Pa,” ucapnya lagi, lebih rendah namun penuh tekanan. “Sekarang, kalau benar Papa laki-laki… hadapi aku.”Billy mematung di tempatnya, wajahnya menegang, urat di pelipisnya menonjol. Tatapan matanya menusuk seperti pisau, tapi di balik sorot itu tampak ada kegamangan yang berusaha ia sembunyika
Last Updated : 2025-10-25 Read more