All Chapters of 365 Hari Jadi Istrimu: Chapter 51 - Chapter 60

Beberapa menit kemudian, Arka keluar dari kamar. Rambutnya masih basah, tubuhnya sudah berganti dengan pakaian santai.Ia berhenti sejenak saat melihat Alya duduk di meja makan, menatap secangkir teh yang sudah hampir dingin."Alya?" panggilnya pelan.Alya menoleh sambil tersenyum tipis. "Bentar, duduk sini, aku mau tanya sesuatu."Arka berjalan mendekat, duduk bersebrangan. Ia mengamati wajah Alya yang tampak tenang, terlalu tenang."Aku barusan dapat kiriman rekamam suara," ucap Alya ringan, seolah membicarakan hal biasa. "Kamu tahu, itu rekaman suara kamu dengan Sasha. Kedengarannya itu direkam saat kamu lagi mabuk."Seketika, raut wajah Arka berubah."Dari siapa?"Alya mengangkat bahu. "Nggak penting. Aku cuma mau tahu satu hal, Ka. Ini kapan kamu hubungi Sasha?" tanya Alya sambil memutar rekaman yang tadi ia terima dari Rio.Arka menghela napas. Jemarinya saling menggenggam erat. “Itu terjadi jauh sebelum Sasha gabung dengan Series Cinta Kontrak Sang CEO. Waktu itu aku mabuk. Aku

Alya menelan ludah, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Reyhan yang duduk di depannya tampak mengalihkan pandangan memberi ruang pribadi walau dari sudut matanya, Reyhan tetap memperhatikan dengan khawatir. “Om... tolong jangan dulu menilai sebelum aku jelaskan,” ucap Alya lembut. “Apa yang mau kamu jelaskan? Bahwa kamu menikah diam-diam dengan aktor yang bahkan setiap minggu wajahnya muncul di gosip infotainment? Bahwa kamu memilih pria yang dikenal punya track record buruk dengan wanita?” Nada suara Om Tio mulai meninggi. Alya mengepal jemari di pangkuannya. “Aku tahu Arka bukan pria sempurna, Om. Tapi semua orang bisa berubah.” Terdengar dengusan berat dari seberang. “Kamu pikir aku nggak tahu reputasi dia? Arka Mahendra itu penuh skandal! Mantan-mantannya berderet. Setiap Minggu ada saja aktris yang digosipkan dengannya. Apa kamu mampu tegar menjalani pernikahan dengan pria seperti itu? Alya menunduk. Ada bagian dalam dirinya yang ingin membantah, tapi juga

Herman tertawa lagi, lebih santai. “Lo takut Arka cuma akting?” Tio tak langsung menjawab. Pandangannya kembali jatuh ke Arka yang sedang tertawa bersama kru, menatap Alya seolah hanya mereka berdua yang ada di dunia. Ada kehangatan di sana. “Aktor sekelas dia…” gumam Tio pelan, “Kalau mau bikin orang percaya, tinggak pilih wajah yang pas.” Herman menyipitkan mata, lalu menoleh serius. “Tapi lo juga tahu, kan? Raut muka kayak gitu nggak bisa dibuat-buat kalua hatinya nggak ikut main.” Tio menghela napas panjang, lalu mengangguk sangat pelan. “Gue pengin percaya. Tapi sekalinya dia sakitin Alya, gue yang turun tangan.” Herman tertawa, lalu menyodorkan cangkir kopi. “Deal. Tapi sampai hari itu datang, kalau pun datang, biarin mereka nulis cerita mereka sendiri.”Syuting pun di mulai. Saat ini giliran Arka dan Revano yang take adegan.Alya tampak standby menunggu giliran take adegan di ruang tunggu.Namun tiba-tiba, Sasha keluar dari tenda wardrobe dengan langkah anggun dan percaya

Alya terkesiap, ternyata dia adalah Arka. Dengan segera perempuan itu menurunkan kaca mobi."Arka," sapa Alya.“Kamu ngapain di sini?” tanya Arka, suaranya rendah tapi tak terdengar kesal.Alya membuka mulut, agak gugup. “Baru selesai ngobrol soal naskah… sama Reyhan.”Arka hanya mengangguk kecil, matanya sempat melirik naskah di pangkuan Alya."Habis ini langsung pulang?" tanya Arka seperti basa-basi."Iya, ini mau langsung pulang," jawab Alya."Ya, udah hati-hati di jalan," lontar Arka.Alya mengangguk, lalu menutup kaca jendela mobil perlahan. Taksi mulai bergerak menjauh, meninggalkan Arka yang masih berdiri di trotoar, menatap mobil itu sampai benar-benar menghilang di tikungan jalan.Langit sudah mulai gelap. Lampu-lampu kafe mulai menyala satu per satu. Arka menoleh ke arah pintu masuk tempat Alya tadi keluar, lalu menghela napas singkat sebelum melangkah masuk.Kafe itu masih sama hangatnya. Aroma kopi dan kayu bakar langsung menyambutnya. Beberapa pengunjung terlihat santai d

Alya terdiam. Air matanya mengambang, tapi belum tumpah. Hatinya bergetar, karena kata-kata itu terdengar seperti pengakuan yang selama ini tak bisa ia ucapkan sendiri. “Om tahu kamu kuat,” lanjut Om Tio dengan nada lebih tenang. “Tapi kuat bukan berarti kamu harus menelan semuanya sendiri.” Alya menggigit bibir. “Aku baik-baik aja, Om…” “Kamu selalu bilang gitu,” potong Om Tio lembut. “Tapi Om pernah lihat wajah almarhum ibu kamu waktu beliau nyembunyiin rasa kecewa, dan itu… sama seperti ekspresi kamu sekarang, Ly.” Alya tercekat. Suara itu penuh kasih, tapi juga tajam menusuk lebih dalam dari komentar netizen mana pun. “Kalau ada sesuatu yang nggak kamu ceritakan, itu hak kamu. Tapi jangan pernah lupa, kamu punya keluarga. Kamu nggak sendirian.” Alya akhirnya menangis dalam diam. Air mata jatuh tanpa suara. Ia hanya bisa menjawab pelan, “Makasih, Om…” Sambungan telepon terputus. Usai pembicaraannya dengan Om Tio, Alya mulai memikirkan ulang tentang pernikahan kontraknya den