Lahat ng Kabanata ng 365 Hari Jadi Istrimu: Kabanata 61 - Kabanata 70

Di lokasi syuting, suasana tampak sibuk seperti biasa. Kru lalu-lalang, make-up artist mondar-mandir membawa perlengkapan, dan para pemain bersiap di ruang wardrobe masing-masing. Tapi bagi Arka, ada satu hal yang sejak beberapa hari terakhir terus mengusik: perubahan sikap Alya. Alya tak lagi duduk bersamanya saat jeda. Ia selalu memilih menyendiri di sudut ruangan sambil membaca naskah atau berbincang seperlunya dengan kru. Setiap kali Arka mencoba mendekat, Alya tetap sopan. Akan tetapi tatapannya seperti berkaca dua lapis—ramah di permukaan, jauh di dalam. Setelah beberapa kalimat pendek, Alya akan mencari alasan untuk pergi lebih dulu. Ia tetap profesional di depan kamera, seolah tak ada yang berubah. Tapi di balik layar, jarak di antara mereka makin nyata. Hari itu, adegan yang akan diambil melibatkan empat karakter utama yakni Arka, Alya, Sasha, dan Revano. Sejak pagi mereka sudah standby di lokasi. “Cut! Bagus! Sekali lagi dari angle kanan, ya,” seru sutradara. Para p

Setelah keluar dari kafe dan berbicara cukup lama, Alya dan Clara memutuskan pergi menjenguk Risa di rumah sakit. Udara sore terasa lembap, dan langit mulai memerah.Sebuah taksi berhenti di depan mereka. Alya membuka pintu dan mempersilakan Clara masuk lebih dulu.“Ke Rumah Sakit Harapan Jaya, Pak,” kata Alya pada sopir.Taksi melaju perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Di dalam mobil yang tenang, Clara melirik adik angkatnya yang tampak diam sejak mereka masuk.“Risa gimana sekarang keadaannya?” tanya Clara memecah hening.Alya mengangguk. “Kondisinya mulai stabil, tapi masih harus rawat inap. Dia senang banget dengar kamu balik ke Indonesia.”Clara tersenyum kecil. “Aku juga kangen dia. Dan kangen kamu, Ly.”Alya menoleh. Tatapannya lembut, tapi juga mengandung keraguan yang menumpuk.“Kak Clara…”“Hm?”“Ada sesuatu yang harus aku katakana dengan jujur,” ujar Alya akhirnya. Suaranya pelan, namun jelas.Clara menatapnya heran. “Apa?”Alya menarik napas dalam-dalam, lal

Pagi itu, udara di lorong rumah sakit terasa lebih sejuk dari biasanya. Alya datang lebih awal ke ruang rawat Risa, membawa sebungkus bubur ayam hangat dan susu kotak rasa stroberi, favorit adiknya sejak kecil. Alya baru saja duduk di sisi ranjang dan meletakkan bungkus makanan yang tadi ia bawa di atas meja kecil ketika terdengar ketukan pelan di pintu. "Pagi," sapa Reyhan yang muncul di ambang pintu dengan senyum ramah. Di tangannya tergenggam clipboard, dan stetoskop tergantung di leher seperti biasa. “Pagi, Dok,” balas Alya, mencoba tersenyum meski ada jeda kecil yang tak bisa ia kendalikan. Sepintas, semuanya tampak seperti biasa. Namun Alya merasakan perubahan. Cara Reyhan berbicara tetap sopan, tapi nadanya sedikit lebih datar. Tatapannya tidak lagi menoleh kepadanya seperti dulu—seolah-olah ia sedang menjaga jarak, tanpa menjelaskan alasannya. Reyhan memeriksa Risa dengan cekatan. Gerakannya tetap rapi, profesional. Tapi Alya tahu, ada sesuatu yang sedang disembunyikan.

Sore itu, para pemain utama berkumpul untuk briefing. Naskah baru dibagikan. Kertasnya masih hangat, dan aroma tintanya bercampur angin sore yang pelan.Alya membuka naskahnya. Matanya menyapu halaman demi halaman, sampai berhenti di satu bagian. Alisnya mengerut.“Episode 40, scene tiga puluh dua,” ucap sang sutradara sambil berdiri di depan mereka. “Ada revisi dari produser. Ini momen penting. Chemistry Hana dan Radit harus pecah di sini.”Semua mendadak diam.“Dalam adegan ini,” lanjutnya, “Radit nyatakan cinta. Hana menangis. Mereka berpelukan. Lalu berciuman. Emosional, pelan, tapi penuh arti.”Alya menelan ludah. Wajahnya memanas. Ia melirik ke samping, tampak Arka sedang membaca naskahnya, ekspresinya tenang, nyaris tanpa reaksi.Tak lama kemudian, mereka sudah berada di set. Balkon apartemen dibangun sedetail mungkin. Lampu disetel oranye kekuningan, meniru warna senja yang lembut namun menyesakkan. Mikrofon tergantung, kamera standby. Semua mata tertuju pada dua pemeran utama

Mobil Arka melaju pelan membelah malam. Tak ada kata yang terucap di antara mereka, hanya suara mesin dan desiran angin malam yang masuk lewat kaca jendela yang sedikit terbuka.Sesekali Arka mencuri pandang ke arah Alya yang sibuk membalas pesan dari Clara. Hatinya masih sesak karena kata-kata yang tadi nyaris keluar kini kembali terkurung. Tapi ia tahu, ini bukan saat yang tepat untuk memaksa.Sampai akhirnya, mereka sampai di depan rumah Clara. Lampu teras menyala, dan pintu rumah sudah terbuka sedikit. Clara berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat cemas.Alya buru-buru keluar dari mobil. “Makasih ya, Ka. Nggak usah nungguin, aku bisa pulang sendiri nanti.”Arka menatapnya beberapa detik. “Aku tungguin aja. Nggak apa-apa.”Alya tampak ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Ya udah. Makasih.”Begitu Alya melangkah ke halaman rumah Clara, Arka bersandar ke kursi, menatap langit-langit mobil. Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri.Rumah Clara tampak sepi dari luar, hanya satu