All Chapters of Hukum yang Tak Tertulis: Chapter 21 - Chapter 30

Pagi itu, udara Jakarta terasa berat dan penuh tekanan, seperti turut merasakan beban yang Ari tanggung. Ia duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan berkas dan dokumen yang baru saja diterima dari sumber terpercaya. Wajahnya tampak tegang, matanya menyelidik setiap kalimat, setiap nomor, dan setiap tanda tangan yang ada. Ini bukan dokumen biasa — ini adalah kunci membuka pintu gelap penuh rahasia yang selama ini tersembunyi rapi di balik kedok kekuasaan.Ari menyesap kopi hitam tanpa gula, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, semakin ia menyelami dokumen tersebut, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul. Bukti transaksi mencurigakan, aliran dana tidak wajar, kontrak palsu, dan nama-nama pejabat serta pengusaha besar yang saling terkait satu sama lain. Ini bukan hanya kasus korupsi biasa, melainkan jaringan besar yang bisa mengguncang tatanan kekuasaan.Ia tahu, langkahnya berikutnya harus penuh perhitungan. Tak hanya untuk melindungi dirinya dan tim, tapi juga agar bukti ini

Hari-hari setelah sidang berjalan dengan ketegangan yang masih membekas di hati Ari. Meski keringat dan lelah menempel, hatinya tetap kuat karena tahu perjuangan belum usai. Ia sadar, kemenangan di ruang sidang bukan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang menegakkan keadilan.Di balik layar, Ari mulai meneliti lebih dalam kasus kliennya, Dara. Ia tahu ada sesuatu yang tidak hanya berkaitan dengan masalah hukum semata, tapi juga menyangkut tatanan sosial dan moral di masyarakat. Kecurigaan mulai tumbuh, bahwa ada pihak kuat yang sengaja membelokkan fakta demi keuntungan pribadi.Ari kembali mengingatkan dirinya tentang pentingnya prinsip legalitas — bahwa segala tindakan harus berdasarkan hukum yang jelas dan tidak boleh sembarangan. Ia pun menyiapkan dokumen, bukti, dan saksi dengan sangat hati-hati, tak ingin ada celah sedikit pun yang bisa dimanfaatkan lawan.Di sela waktu, Ari membuka sebuah sesi konsultasi gratis lewat media sosial. Ia ingin berbagi pengetahuan hukum dengan masy

Ari duduk di meja kerjanya semalaman. Map demi map berserakan, kopi dingin menyisakan bekas lingkaran di tumpukan dokumen. Tapi pikirannya tidak bisa lepas dari satu kalimat Dara:“Aku melihatnya mati. Dan aku tidak menyesal.”Itu bukan pernyataan bersalah. Itu pengakuan luka.Tapi bagi jaksa, bagi publik, dan terlebih—bagi media—kalimat itu akan dipelintir, diperbesar, dan digunakan untuk memojokkan Dara. Ari tahu, mereka tidak butuh kebenaran. Mereka hanya butuh cerita yang menjual. Dan Dara, sebagai putri gubernur, terlalu mudah jadi sasaran.Jam menunjukkan pukul 04.15 pagi saat Ari membuka kembali rekaman CCTV dari malam kejadian. Kali ini ia fokus pada satu sosok di sudut gambar: laki-laki berbadan besar yang keluar dari gerbang vila sebelum ambulans datang. Wajahnya tak terlalu jelas, tapi cara jalannya... ada yang tidak asing.Ari memperbesar frame, memperlambat gerakan. Sosok itu mengenakan jaket dinas keamanan daerah.Satpol PP."Kenapa petugas pemerintah ada di TKP sebelum

Pagi itu ruang sidang penuh. Media berebut posisi, mikrofon ditodong ke arah siapa saja yang mengenakan jas hitam. Jaksa berdiri tegak, dengan berkas tebal di tangan. Tapi semua mata tak tertuju pada dia, atau bahkan pada hakim. Semua mata menanti seseorang: Dara Cahyadi.Ari berdiri di sisi kanan ruang sidang, tegap, meski tangan kanannya masih dibebat perban. Setiap langkahnya menggema, seolah mengiris atmosfer ruang yang sudah lama diselimuti ketidakpercayaan.Ketika Dara akhirnya masuk dari pintu belakang—dengan wajah pucat namun tatapan tajam—ruang itu mendadak hening. Tak ada senyum. Tak ada acungan jempol. Hanya sorot mata tajam yang menilai.Tapi Ari tahu, hari ini bukan tentang membentuk opini publik. Ini tentang mengguncang sistem.Hakim mengetukkan palu.“Saudara pengacara, apakah Anda siap dengan saksi tambahan hari ini?”Ari berdiri. “Siap, Yang Mulia. Kami menghadirkan saksi utama sekaligus terdakwa sendiri... Saudari Dara Cahyadi.”Jaksa menolak. “Yang Mulia, pengakuan

Ketika layar proyektor menampilkan rekaman rahasia itu, suasana ruang sidang berubah drastis. Suara-suara bisik memenuhi ruangan, bergema dari sudut ke sudut. Para hakim, jaksa, dan pengacara, bahkan wartawan yang sejak pagi menunggu perkembangan sidang, terpaku menatap bukti yang baru saja terkuak.Rekaman memperlihatkan sosok Dio Prasetya, dengan suara tenang tapi penuh konspirasi, membicarakan rencana licik untuk menjatuhkan Dara secara sistematis. Terdengar jelas bagaimana ia dan sejumlah pejabat berencana memanipulasi media, menghilangkan saksi penting, dan mengorbankan nyawa untuk menjaga reputasi politiknya.Ari menutup laptopnya, wajahnya kini berubah serius penuh tekad. Ia berdiri dan menatap seluruh ruangan. “Ini bukan sekadar pembelaan biasa,” suaranya menggema, menembus hening. “Ini adalah panggilan bagi semua yang mengaku menegakkan hukum untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Keadilan tidak boleh dibungkam oleh uang dan kekuasaan.”Di sisi lain ruang sidang, Dara men