All Chapters of Hukum yang Tak Tertulis: Chapter 31 - Chapter 40

Pagi itu, kantor Ari & Partners masih sunyi. Dara baru saja meletakkan dua cangkir kopi di meja kerja mereka yang kini menyatu. Semenjak kasusnya berakhir, Dara tak lagi sekadar klien. Ia ikut membantu Ari menyusun strategi hukum untuk klien-klien baru. Bukan karena terpaksa, tapi karena ia tahu, suara-suara yang dulu nyaris padam... kini bisa ia bantu nyalakan.Saat Ari membuka pintu depan, ia menemukan sebuah amplop tanpa nama di atas keset. Tidak ada cap pos. Tidak ada pengirim. Hanya tulisan tangan halus di sampulnya:“Untuk: Pengacara yang (hampir) memenangkan segalanya.”Ari membukanya perlahan. Isinya satu lembar kertas, ditulis tangan. Tak ada tanda tangan. Tapi setiap kalimat terasa seperti bisikan dari masa yang belum selesai.“Terkadang, keadilan yang kalian pikir sudah ditegakkan... hanya menyentuh permukaan. Ada satu nama yang tak pernah disebut. Satu nyawa yang tak pernah dicari. Jika kalian benar-benar ingin tahu siapa yang memulai semuanya—carilah nama 'Larasati'. Dia

Gedung Kementerian Hukum dan HAM sore itu dipenuhi wartawan. Kilatan kamera menyambut Rangga Cahyadi, yang melangkah gagah di balik jas abu-abu dan senyum politisi.Dara berdiri di seberang jalan, diam.Ari berdiri di sampingnya, memperhatikan kakak Dara yang baru saja diangkat menjadi Wakil Menteri.“Dari luar, dia tampak sempurna,” kata Ari.“Tapi dari dalam... penuh retakan yang disembunyikan ibuku selama ini,” sahut Dara dengan suara berat.Ia menatap layar ponsel. Di dalamnya, rekaman Larasati, surat tulisan tangan, foto panti, dan catatan imigrasi malam pembunuhan itu sudah dikumpulkan menjadi satu file: Bukti Final – Reno Case.Ari sudah menyiapkan semua. Mereka bisa menyerahkannya pada jurnalis independen, mengunggahnya ke platform hukum yang mereka kelola, atau bahkan menyerahkannya ke KPK.Tapi mereka tahu, sekali itu keluar... hidup mereka tak akan sama lagi.“Kalau kita buka ini sekarang,” kata Ari, “kamu harus siap kehilangan banyak hal. Nama keluargamu. Hubungan ibumu. S

Malam itu, Ari dan Dara meninggalkan kantor dengan hati yang lebih ringan. Jalanan Jakarta yang semula terasa penuh tekanan kini berubah menjadi saksi bisu langkah-langkah baru mereka.Restoran kecil yang dipilih Dara bukanlah tempat mewah, tapi hangat dan penuh suasana nyaman. Lampu temaram dan musik akustik mengisi ruang, memberi ruang bagi mereka untuk berbicara lebih dalam—bukan soal hukum, bukan soal kasus, tapi soal hidup.“Aku suka tempat ini,” kata Ari sambil tersenyum. “Tenang, jauh dari hiruk pikuk pengadilan dan media.”Dara mengangguk. “Kadang kita memang harus mundur sejenak untuk bisa melangkah lebih jauh.”Mereka berbagi cerita tentang impian dan harapan yang dulu tersembunyi di balik topeng kekuatan.“Aku ingin suatu hari punya yayasan bantuan hukum yang benar-benar membantu rakyat kecil,” ucap Ari dengan mata berbinar.Dara menatapnya penuh kekaguman. “Dan aku ingin menjadi bagian dari itu, bukan hanya sebagai klien, tapi sebagai teman dan partner.”Ari menyentuh tang

Beberapa hari kemudian, saat Ari sedang menyiapkan dokumen penting di kantor, sebuah paket tak terduga datang tanpa alamat pengirim. Dengan rasa penasaran, ia membuka paket itu perlahan.Di dalamnya terdapat sebuah flashdisk dan sepucuk surat pendek:“Jika kau ingin tahu kebenaran, lihat ini. Tapi berhati-hatilah, karena kebenaran kadang membawa bahaya yang lebih besar.”Ari segera memasang flashdisk itu ke laptopnya. File video muncul di layar—rekaman yang memperlihatkan seseorang membicarakan konspirasi besar di balik kasus Dara, melibatkan pejabat tinggi dan kekuatan gelap yang selama ini tersembunyi.Jantung Ari berdegup kencang. Ia tahu, ini bukan sekadar ancaman biasa—ini adalah titik balik yang bisa mengguncang segalanya.Dara tiba-tiba masuk ke ruangan, melihat ekspresi serius Ari. “Ada apa?”Ari menunjukkan layar laptop. “Ini… bukti yang selama ini kita cari. Tapi ini juga bisa jadi masalah besar.”Dara menatap video itu dengan mata terbuka lebar, lalu menatap Ari. “Kita haru

Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, menyelimuti kota dengan kehangatan yang lembut. Di sebuah taman kecil yang dikelilingi bunga-bunga bermekaran, Ari dan Dara berdiri berhadapan, tangan mereka saling menggenggam erat.Teman-teman dekat dan keluarga yang hadir menyaksikan momen sakral itu dengan senyum haru. Setelah segala badai yang mereka lalui bersama, kini saatnya mereka mengucapkan janji suci.Ari menatap Dara dengan penuh cinta dan keyakinan. “Dara, kau bukan hanya klienku, bukan hanya sahabatku — kau adalah belahan jiwaku. Aku berjanji akan selalu menjaga, mencintai, dan berdiri di sampingmu, dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, selama hidup kita.”Dara mengangkat tangan Ari, menggenggamnya lebih erat. “Ari, aku percaya pada cinta kita yang lahir dari perjuangan dan kejujuran. Aku berjanji akan selalu mendukung dan mencintaimu, dengan sepenuh hati dan jiwa.”Mereka saling bertukar cincin, simbol ikatan yang tak akan terputus oleh waktu maupun masalah.Saat Ari dan