Tous les chapitres de : Chapitre 81 - Chapitre 90

Saraswati berjalan di depan, matanya awas mengawasi setiap sudut. Sejak mereka meninggalkan gua, perasaannya tidak bisa tenang. Mereka telah menghindari satu bahaya, tetapi bahaya lain selalu mengintai di balik kegelapan hutan. Di belakangnya, Raka tetap menjaga langkah, memastikan tidak ada yang tertinggal. Ia sesekali menoleh ke belakang, mengawasi Sanga yang kini berjalan di antara mereka, wajahnya masih penuh dengan rasa bersalah yang tidak bisa disembunyikan.“Kau yakin kita bisa mempercayainya?” suara Raka rendah tetapi tajam, hanya bisa didengar oleh Saraswati.Saraswati tetap menatap ke depan, tetapi suaranya terdengar mantap. “Aku tidak yakin, tetapi aku tidak akan meninggalkan siapa pun dalam keadaan seperti ini,” katanya. “Jika kita membiarkan dia tertinggal, kita sama saja dengan mereka.”

Saraswati melangkah lebih dulu, diikuti oleh Raka dan yang lainnya. Begitu mereka masuk, batu besar itu kembali menutup dengan bunyi bergema, menelan mereka dalam kegelapan. Di dalam gua, cahaya obor berkedip-kedip di sepanjang lorong yang panjang. Udara di dalamnya terasa lebih hangat dibandingkan di luar, dan Saraswati bisa melihat siluet orang-orang bergerak di kejauhan. Mereka telah sampai di Benteng Rimba. Namun, sebelum mereka sempat merasa lega, suara berat menggema dari dalam kegelapan.“Kami sudah menunggu kalian.”Saraswati menoleh, matanya bertemu dengan seorang pria bertubuh besar yang berdiri di ujung lorong, didampingi oleh

Malam di Benteng Rimba terasa begitu berat. Asap dari api yang membakar hutan perlahan meresap ke dalam gua-gua batu, menciptakan aroma arang yang mengendap di tenggorokan dan menyusup hingga ke paru-paru. Saraswati duduk di sudut ruangan, punggungnya bersandar pada dinding dingin yang terasa begitu nyata di tengah pikirannya yang perlahan terseret ke dalam dunia yang berbeda. Ia telah kehilangan hitungan berapa lama ia terjaga, tetapi setiap kali matanya terpejam, mimpi-mimpi itu datang lagi—bukan sekadar bayangan samar, melainkan potongan-potongan masa lalu yang terkuak dengan jelas, seperti tabir yang akhirnya disingkap.Mimpi itu dimulai dengan jeritan. Ia melihat seorang wanita berlari melewati lorong istana yang diterangi cahaya obor. Rambut panjang wanita itu terurai berantakan, jubahnya koyak oleh angin malam yang berhembus dari jendela-jendela terbuka. Dalam pelukannya, seorang bayi menangis

Adhiraj, sang Panglima tertinggi kerajaan, tersenyum kecil. Wajahnya yang tenang seolah tidak terpengaruh oleh kekacauan di sekelilingnya. Baginya, pertempuran ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Ini hanyalah babak lain dalam perang panjang yang telah ia mainkan berkali-kali sebelumnya.“Aku bisa melihat kemarahan dalam matamu, Saraswati,” katanya dengan suara lembut, nyaris seperti bisikan di tengah riuhnya peperangan. “Kemarahan itu adalah kekuatan… tapi juga kelemahan. Jika kau tidak tahu bagaimana mengendalikannya, itu akan menjadi pedang bermata dua yang membinasakan dirimu sendiri.”Saraswati tidak menjawab. Ia tahu bahwa Adhiraj sedang mencoba menanamkan keraguan dalam benaknya. Ia tahu bahwa pria ini bukan hanya seorang petarung ulung, tetapi juga seorang pemikir yang memahami seni perang jauh lebih dalam daripada mereka

Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam perkemahan tersembunyi di balik Pegunungan Garba, para pemberontak duduk melingkar di sekitar api unggun, wajah mereka penuh ketegangan dan kelelahan. Mereka telah melarikan diri dari Benteng Rimba, namun perang belum berakhir—justru baru saja dimulai. Saraswati berdiri di tengah-tengah mereka, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya dipenuhi dengan strategi dan keputusan yang harus segera dibuat.Raksa menghamparkan peta kasar di atas sebuah batu besar yang mereka gunakan sebagai meja. Garis-garis merah dan hitam tergambar di atasnya, menunjukkan jalur pergerakan pasukan kerajaan serta kemungkinan titik serangan. “Kita tidak bisa hanya bersembunyi,” katanya dengan nada berat. “Raja tahu bahwa kita masih hidup, dan dia tidak akan berhenti sampai kita semua musnah.”Saraswati