Mahardika menatap Naila sebentar, lalu menyingkirkan keraguan yang masih tersisa di sudut matanya dengan sebuah senyum tipis yang tidak sampai ke ujung bibir.Ia berdiri tanpa tergesa, gerakannya terukur seperti orang yang sudah biasa menolak drama, tetapi bukan karena kebencian, melainkan karena sudah letih. “Aku ada urusan lain. Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” suaranya datar, hangat pada nada yang sama sekali tidak memohon.Naila mengangguk, suaranya pendek seperti benang yang putus, “Baik.” Kata itu tidak menenangkan sama sekali, malah menambah berat udara di antara mereka.Ketika pintu menutup dan langkah Mahardika memudar ke lorong, Naila menoleh ke Galih. Matanya yang besar memantulkan cemas, ada tanya yang tidak sanggup diucapkan. Ia menggigit bibir bawah, kulit bibirnya memerah samar.“Kita benar-benar akan pulang bersama, kan?” suaranya bergetar tipis, seperti telepon yang hampir habis baterai.Galih, y
Dernière mise à jour : 2025-10-21 Read More