Semua Bab Terjebak Dendam dan Gairah: Bab 211 - Bab 220

Entah kapan Olivia terlelap semalam, yang pasti dia masih terbaring di ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Suara pintu kamar mandi terbuka. Tubuh Olivia seketika menegang. Arkana keluar dengan handuk melilit pinggangnya, rambut basah menetes air, tubuhnya masih beruap dari air panas. Tatapannya sedingin es.Tanpa sepatah kata pun pada Olivia, Arkana berjalan menuju lemari pakaian. Dia mengenakan celana dan kemeja dengan gerakan efisien, seperti sedang bersiap untuk meeting penting, bukan seperti pria yang baru saja menghabiskan malam dengan istrinya.Olivia mengamatinya dengan mata yang masih bengkak. "Arkana...""Dimana?" potong Arkana datar, tidak berbalik."A-apa?""Ponsel keduamu." Arkana berbalik, mengancingkan manset kemejanya dengan gerakan presisi. "Aku tahu kamu punya. Tidak ada yang melakukan operasi mata-mata dengan hanya satu ponsel. Jadi dimana?"Olivia memeluk selimut lebih erat. "Aku tidak—""Stop," Arkana mengangkat tangan, menghentikan kalimatnya. Suaranya teta

Riri duduk di ruang makan dengan secangkir teh chamomile yang masih mengepul di depannya. Matanya menatap ke arah tangga yang mengarah ke lantai dua yang khusus dipergunakan untuk Arkana dan Olivia. Sudah tiga hari ini, suasana rumah terasa berbeda. Aneh. Mencekam.Olivia tidak pernah lagi turun untuk sarapan bersama lagi. Tidak ada lagi suara tawanya yang meskipun terdengar sedikit dipaksakan, setidaknya mengisi kesunyian rumah besar ini. Pelayan bolak-balik membawa nampan makanan ke kamar di lantai dua, dan membawanya kembali dengan sebagian besar makanan tidak tersentuh.Arkana keluar masuk rumah dengan wajah yang semakin dingin. Lebih dingin dari biasanya jika itu masih mungkin. Matanya seperti kehilangan cahaya, hanya menyisakan kekosongan yang menakutkan. Dan beberapa kali Riri menemukan putra sulungnya tidur di kamar tamu atau ruang kerjanya.Riri memang sudah tahu ada masalah berkaitan dengan Olivia dan perusahaan, tapi masih belum ada penjelasan yang lengkap yang bisa dimenge

Pesawat pribadi Recon Group mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai tepat pukul dua siang. Arkana turun dengan langkah tegap, diikuti Gio yang membawa tas berisi laptop dan dokumen penting. Udara Bali yang panas langsung menyapa mereka, kontras dengan AC dingin di dalam pesawat. Damian yang awalnya akan ikut akhirnya membatalkan keberangkatannya, karena perusahaan semakin goyah. Dan Damian akan berada di titik pusat untuk menstabilkannya."Mobil sudah siap, Pak," lapor Gio sambil mengecek ponselnya. "Tim keamanan juga sudah standby di hotel."Arkana mengangguk singkat, matanya tersembunyi di balik kacamata hitam Cartier. Rahangnya mengeras. Sejak kemarin, pikirannya terus berputar tentang siapa sebenarnya orang yang berani mengganggu Recon Group. Damian sudah memberikan alamat lengkap, sebuah villa mewah di daerah Canggu yang tercatat atas nama perusahaan offshore.Orang ini tidak main-main. Dia punya uang, koneksi, dan yang paling penting: keberanian untuk berhadapan langsung dengan ke

Olivia duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat rapat di pangkuan. Sudah lima hari sejak dia dikurung di kamar ini. Lima hari tanpa bicara dengan siapa pun kecuali ibu mertuanya Riri yang kini datang membawa makanan tiga kali sehari menggantikan Sari dan bahkan itu hanya percakapan singkat dan kikuk.Kedatangan Riri sebenarnya membuatnya malu untuk bertemu, karena kebaikan ibu Arkana itu. Walaupun Riri telah mengkhianati kepercayaan mereka, tapi Riri tetap menerima, baik dan lembut padanya. Olivia bersyukur masuk ke dalam keluarga Arkana sekakigus begitu menyesal atas perbuatannya.Lima hari sendirian dengan pikiran-pikirannya sendiri. Dengan penyesalan yang menggerogoti. Dengan air mata yang sudah tidak keluar lagi karena sudah terlalu banyak menangis.Ketukan di pintu membuatnya tersentak."Masuk," katanya dengan suara serak—suara yang jarang digunakan selama lima hari terakhir.Yang datang kali ini Anita, sekretaris Arkana yang masuk dengan wajah yang terlihat tidak nyaman, mem

Lima minggu setelah pertemuan dengan Rayzen. Recon Group berada di ujung tanduk. Saham terus jatuh, klien-klien penting mulai beralih ke kompetitor, dan yang paling mengkhawatirkan kredibilitas perusahaan terguncang. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang berubah dalam diri Arkana. Ruang kerja Arkana di lantai tiga puluh berubah menjadi pusat komando perang. Monitor-monitor besar menampilkan real-time data pasar, pergerakan saham, posisi klien, dan aktivitas Rayzen. Tim analis tidak pernah beristirahat, mereka bekerja dalam shift demi shift untuk mengikuti setiap langkah musuh. "Pak Arkana," suara Gio memecah konsentrasi Arkana yang sedang menatap layar. "Tim operasional laporkan bahwa proyek Bandara Internasional Yogyakarta mengalami kendala supply. Rayzen lagi bekerja sama dengan supplier alternatif untuk memblokir material yang kita butuhkan." Arkana tidak menoleh dari layar. "Hubungi supplier dari Surabaya. Mereka punya kapasitas produksi yang cukup. Menawarkan 15% marku