All Chapters of Terjebak Dendam dan Gairah: Chapter 371 - Chapter 380

Sepanjang hari, Aurelia benar-benar mengabaikan Abimanyu. Saat istirahat, ia makan bersama Samantha dan teman-temannya, tertawa keras, bercanda, seolah tidak ada masalah apa pun. Ia tidak menoleh ke arah Abimanyu yang berdiri tak jauh dari sana, menatapnya dengan tatapan khawatir. Saat pulang, Aurelia berjalan cepat ke mobil, masuk tanpa menunggu Abimanyu membukakan pintu. "Abimanyu, kita bisa mampir ke toko buku sebentar nggak?" tanya Aurelia tiba-tiba, nadanya ringan. "Aku mau beli novel baru. Bentar aja, kok." Abimanyu mengangguk. "Baik." Di toko buku, Aurelia berjalan dari rak ke rak, sesekali mengambil buku, membaca sinopsisnya, lalu meletakkannya kembali. Abimanyu mengikutinya dari jarak aman, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk mengawasinya. Dan di situlah Abimanyu menyadari sesuatu. Ada seseorang yang juga mengikuti Aurelia. Seorang pria dengan hoodie biru tua, topi baseball hitam, dan masker hitam. Ia berpindah dari rak ke rak, selalu beberapa meter di belakang Aurelia

Sesampainya di apartemen, Aurelia langsung turun tanpa menunggu Abimanyu membukakan pintu. Ia berjalan cepat ke dalam, melepas heels-nya dengan gerakan kasar, lalu masuk ke kamar dan membanting pintu. Abimanyu berdiri di ruang tengah, menatap pintu yang tertutup itu. Dadanya sesak. Ia ingin mengetuk pintu. Ingin bicara. Ingin memastikan Aurelia baik-baik saja.Tapi ia tidak bisa. Karena sekarang, Aurelia tidak lagi membiarkannya masuk. Abimanyu berjalan ke sofa, duduk dengan kepala bersandar ke belakang, menutup matanya. "Aku akan menunggu," gumamnya pelan. "Aku akan terus menunggu sampai kamu siap, Aurel. Tidak peduli seberapa lama. Tidak peduli seberapa sakit." Ia membuka matanya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. "Tapi jangan terlalu lama. Karena aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan melihatmu seperti ini." Di dalam kamar, Aurelia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Makeup yang rapi. Dress yang cantik. Senyum yang sempurna. Semua p

Aurelia bergerak, mengerjap pelan, dan hal pertama yang ia rasakan adalah kehangatan di tangannya. Ia menoleh, dan pandangannya jatuh pada Abimanyu. Abimanyu tertidur pulas, duduk bersandar pada dinding di samping ranjang, dengan posisi tubuh yang pasti tidak nyaman. Jaketnya sedikit terbuka, rambutnya sedikit berantakan, dan wajah yang biasanya tegang kini terlihat rentan dalam tidur lelapnya. Aurelia menatapnya lama, hatinya berdenyut dengan campuran rasa malu dan kelegaan yang luar biasa. Ia mengingat setiap detail yang terjadi semalam. Serangan panik yang mematikan, rasa tercekik yang mencekik, teriakan putus asa, dan bisikan tentang Rayzen dan Aldrich. Lalu ia ingat Abimanyu. Pria itu tidak lari. Abimanyu mendobrak pintu. Abimanyu menenangkan. Abimanyu memeluknya erat, menampung semua rasa sakit yang selama ini ia sembunyikan. Dan yang paling penting, Abimanyu ada di sana, tidak pergi, menjaga tangannya sepanjang malam. Aurelia perlahan bangkit, duduk di ranjang. Ia melih

Hari-hari berikutnya berubah menjadi rutinitas yang hangat dan menyembuhkan. Abimanyu tidak memperlakukan Aurelia seperti pasien yang rapuh atau orang yang sakit. Ia memperlakukan Aurelia seperti ratu yang berharga, yang layak mendapat segalanya. Setiap pagi, Abimanyu bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan favorit Aurelia. Pancake dengan madu dan stroberi segar, atau roti panggang dengan selai kacang dan pisang. Kopi susu hangat dengan sedikit kayu manis, persis seperti yang Aurelia suka. "Pagi, Ratuku" sapa Abimanyu dengan senyum kecil saat Aurelia keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan mata masih setengah terpejam. Aurelia tertawa kecil yang tulus, bukan tawa paksaan. "Ratu dari apartemen yang pintunya rusak, ya?" "Aku sudah minta tukang untuk perbaiki siang ini," jawab Abimanyu, menarik kursi untuk Aurelia. "Duduk, Ratu. Sarapanmu sudah siap." Aurelia duduk dengan pipi merona. Ia masih tidak terbiasa dengan perlakuan Abimanyu yang berubah total, dari dingin dan kak

Aurelia langsung membeku di tempatnya, menyadari apa yang baru saja ia katakan. Wajahnya berubah pucat, matanya membulat menatap Aldrich yang kini menatap balik dengan tatapan yang sangat menakutkan. Tatapan seorang kakak yang overprotektif dan siap membunuh siapa pun yang berani menyentuh adiknya. "Silas…" suara Aldrich turun satu oktaf, rendah dan mengancam. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di samping tubuh. "Kalian… tidur… sekamar?!" Abimanyu menelan ludah, tubuhnya menegang. Ia bisa menghadapi penjahat, bisa menghadapi bahaya apa pun. Tapi menghadapi Aldrich yang sedang marah untuk alasan yang "sangat salah paham" lebih menakutkan dari apa pun. "Aldrich, dengar dulu—" Abimanyu mencoba menjelaskan, tangannya terangkat dalam gestur damai. "DENGAR APA?!" bentak Aldrich, melangkah maju dengan tatapan membunuh. "Aku percayakan adikku padamu! Aku kirim kamu ke sini untuk 'melindungi'nya, bukan untuk—" "KAKAK!" Aurelia langsung berteriak, berlari ke antara Aldrich dan Abimanyu