All Chapters of Jatah Malam Untuk Mertua : Chapter 91 - Chapter 100

Di ruang tengah yang remang, Leo masih terduduk dengan gelisah. Napasnya belum juga teratur sejak menyadari Dinda menghilang. Matanya terus menatap ponsel yang diam di tangannya, menanti secercah informasi—apa pun.Tiba-tiba ponselnya berdering. Leo refleks berdiri. Di layar tertera. Nomor Tidak Dikenal.Alisnya mengernyit. Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya menekan tombol hijau dan menyambungkan panggilan itu ke telinga."Halo?"Butuh beberapa detik sebelum suara itu terdengar dalam, berat, dan dingin. “Leo.”Leo menggenggam ponselnya erat. “Siapa ini?”Suara itu tak menjawab langsung. Hanya diam sebentar, lalu mengucap kalimat yang membuat darah Leo membeku."Istrimu ada bersamaku."Mendengar itu, sontak Leo terdiam. Napasnya tercekat."Jika kau mau dia tetap hidup?" lanjut suara itu, tenang, tanpa emosi. "Bawa berkas-berkas yang kau curi dari Bu Mela. Datang ke alamat yang kukirim setelah ini. Sendirian!"Leo langsung menggertak, "Siapa kamu?! Kamu

Malam semakin larut, udara dingin menyeruak dari sela-sela jendela yang tertutup rapat. Lampu kamar menyala redup, menciptakan suasana tenang yang seharusnya cocok untuk beristirahat. Namun tidak untuk malam ini. Tidak bagi Dinda.Leo duduk di sisi ranjang sambil menatap istrinya yang masih memeluk lutut di ujung tempat tidur. Tatapan Dinda kosong, matanya sembab, dan bahunya masih sesekali bergetar."Sayang, kamu harus istirahat," ucap Leo lembut, menyentuh bahu Dinda dengan pelan. "Kita sudah melewati hari yang berat. Sekarang istirahat yuk."Dinda menggeleng pelan. "Aku takut, Mas. Rasanya seperti... seperti mereka masih ada di sekitar kita. Aku takut kalau aku tidur, sesuatu bakal terjadi. Aku nggak mau terulang lagi."Leo menunduk, hatinya mencelos. Ia tahu ketakutan itu bukan sekadar paranoia. Trauma penculikan semalam begitu nyata bagi Dinda, apalagi dalam kondisi hamil. Ia mengusap rambut Dinda perlahan, mencoba menenangkan."Sayang, dengar aku." Leo menatap mata istrinya yan

Leo menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang campur aduk di dadanya. Ia memandang kedua orang tua kandungnya bergantian, matanya berkaca-kaca. "Saya… bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan Ayah dan Ibu," ucapnya dengan suara serak."Tapi… saya juga nggak mau bahagia sendirian, sementara Dinda, nasibnya belum jelas."Dinda yang duduk di sampingnya menunduk. Tangannya meremas ujung bajunya sendiri, seolah mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia merasa hangat melihat Leo begitu peduli padanya, tapi di saat yang sama ada beban besar yang tak bisa diabaikan.Leo melanjutkan dengan suara tegas, "Dinda sebenarnya punya hak waris dari ayah angkatnya. Semua jelas di dokumen aslinya. Tapi sayangnya, semua dokumen itu dikuasai oleh ibu angkatnya, Bu Mela. Dia memalsukan dan menyembunyikan berkas-berkas itu. Kalau tidak ada bukti asli, kita nggak punya dasar kuat untuk bawa kasus ini ke pengadilan."Mendengar penjelasan itu, sang ibu, seorang wanita paruh baya berwajah teduh

Ruang sidang penuh sesak. Kursi-kursi di barisan belakang dipenuhi wartawan, beberapa memegang kamera, siap mengabadikan setiap momen. Di kursi pengunjung, Pak Arman dan Bu Ratna duduk tegak, wajah mereka tegas namun tenang. Di depan, Leo menggenggam erat tangan Dinda, memberi kekuatan sebelum sidang dimulai. Dinda terlihat gugup, namun Leo terus memenangkannya. Ketika hakim memasuki ruangan, semua berdiri. "Sidang perkara dugaan pemalsuan dokumen dan perampasan hak ahli waris atas nama terdakwa, Melati Wulandari, dibuka." Bu Mela duduk di kursi terdakwa, mengenakan setelan rapi, tapi wajahnya pucat. Sesekali ia menoleh ke arah Leo dan Dinda dengan tatapan tajam, dia terlihat benar-benar benci. Jaksa penuntut bangkit. "Yang Mulia, kami telah mengumpulkan bukti-bukti bahwa terdakwa, Melati Wulandari, secara sengaja menyembunyikan dan memalsukan dokumen waris yang seharusnya menjadi milik saksi korban, Dinda Prameswari. Tindakan ini dilakukan untuk menguasai aset dan saham perusaha

Pagi itu, suasana di halaman depan rumah Pak Bram terasa tegang. Udara pagi yang biasanya segar kini terasa berat, seolah ikut merasakan amarah yang membara di dada Leo. Lelaki itu melangkah cepat, langkah kakinya menghentak lantai teras kayu. Wajahnya kaku, rahang mengeras, matanya menyala dengan tatapan penuh kemarahan.Pak Bram, ayah angkatnya, sedang duduk santai di kursi rotan sambil menyeruput kopi hitam. Begitu melihat Leo datang, alisnya terangkat, seolah terkejut namun tetap berusaha mempertahankan ekspresi tenang."Ada apa pagi-pagi begini, Leo?" tanya Pak Bram, nadanya datar, tapi ada sedikit nada waspada di balik suaranya.Leo tidak langsung menjawab. Dia berdiri di hadapan ayah angkatnya itu, menatap tajam seakan ingin menembus lapisan topeng yang selama ini menutupi wajah pria tua tersebut. "Aku mau tanya, kenapa Bapak tega memfitnah Dinda?!"Pak Bram mengerutkan kening, berpura-pura tidak mengerti. "Fitnah apa? Aku nggak ngerti maksud kamu.""Jangan pura-pura nggak tahu