All Chapters of Cinta Dalam Riuh Salju: Chapter 61 - Chapter 70

Berlin menyambut mereka dengan wajah yang berbeda. Musim semi telah merambat perlahan dari sela-sela bebatuan trotoar hingga pohon-pohon tua di Tiergarten yang kembali menumbuhkan daunnya. Burung-burung berkicau seolah tak pernah ada ledakan atau tembakan di bawah tanah Swiss.Leo dan Amara kembali ke kota yang dulu menjadi saksi awal pertemuan mereka—sebagai dua mahasiswa, dua orang asing yang tak pernah tahu bahwa hidup mereka akan terjalin dalam pertaruhan sebesar peradaban.Kini, mereka kembali bukan sebagai mahasiswa, bukan pula sebagai anak-anak dari tokoh besar. Mereka kembali sebagai dua manusia yang memilih dunia, bukan sistem. Pilihan yang tidak mudah, dan tidak semua pihak menyambutnya dengan tangan terbuka.Di sebuah aula kampus Humboldt Universität, keramaian mulai terbentuk. Kursi-kursi ditata rapi. Di panggung utama, terdapat meja panjang tempat para panelis duduk—termasuk Leo Rosenthal. Di depannya, ratusan mahasiswa, jurnalis, dan perwakilan dari komunitas ilmiah mena

Kota tua Praha menyambut mereka dengan kabut tipis dan bau batu basah. Jalanan berbatu berliku-liku di antara bangunan barok yang masih menyimpan bisikan masa lalu. Bagi wisatawan, kota ini adalah tempat romantis dengan menara jam dan musik jalanan. Tapi bagi Leo dan Amara, Praha adalah teka-teki—dan mungkin, medan perang berikutnya.Leo menatap map kecil yang ia pegang erat sejak pesawat mendarat. Goresan tinta tua buatan Liesel menunjukkan satu lokasi: Serverhaus Vltava, sebuah fasilitas arsip digital tua di pinggiran kota, tersembunyi di balik label museum sejarah komunikasi.“Liesel pernah bercerita soal tempat ini?” tanya Amara, membetulkan scarf-nya sambil memindai sekitar.“Tidak secara langsung,” jawab Leo. “Tapi dalam catatan terakhirnya, ada referensi tentang ‘ruang di mana masa kecil tersimpan’. Liesel besar di Praha sebelum pindah ke Berlin. Ayahnya, Leopold Rosenthal, bekerja di tempat ini sebagai teknisi.”Mereka tiba di gedung tua berlantai tiga, pintunya berat dan reta

Istanbul memeluk mereka dengan kekacauan yang hangat. Deru kapal ferry melintasi Bosphorus, azan dari masjid-masjid tua bersahut-sahutan dengan tawa anak-anak di gang sempit. Kota ini tidak peduli siapa kau kemarin—di sini, semua bisa dimulai kembali.Leo—kini dengan nama baru, Elias Andros—bekerja sebagai penerjemah lepas. Ia menata hidup di apartemen kecil di kawasan Cihangir, dikelilingi toko buku dan kedai teh. Amara, yang kini dikenal sebagai Mira, menjadi sukarelawan di sekolah bahasa untuk pengungsi Suriah. Mereka hidup seperti dua titik kecil dalam lautan manusia yang terus bergerak.Tidak ada jejak chip Liesel. Tidak ada nama Rosenthal. Hanya pagi yang tenang, malam yang sederhana, dan sepotong dunia yang akhirnya terasa manusiawi.Tapi mimpi tak bisa selamanya menyembunyikan kenyataan.Suatu sore, saat Elias baru pulang dari pasar, ia menemukan secarik surat terselip di bawah pintu. Tidak ada pengirim. Hanya tiga kata:"Kami belum lupa."Tangannya mengepal.Ia membuka semua

Setelah sistem dihancurkan, dan vila Varn ditinggalkan dalam sunyi, Elias, Mira, dan Hawa duduk di pinggir dermaga kecil dekat desa nelayan. Laut Hitam menghampar gelap, tapi malam terasa lebih ringan dari biasanya—seperti beban yang akhirnya dilepaskan dari pundak generasi.Mira memeriksa kembali sisa-sisa data dari sistem yang sempat mereka unduh sebelum kehancuran total. Di antara potongan algoritma dan rekaman keamanan, ada satu file aneh—tidak terlindungi enkripsi, hanya diberi judul sederhana:"Untuk Leo, dari Liesel."Elias menatap layar dengan dada sesak. Ia tahu suara itu akan menghantuinya… dan sekaligus menyelamatkannya.Mira membuka file. Muncullah video. Liesel duduk di meja kayu, tanpa jas lab, tanpa layar di belakangnya. Hanya dirinya—seorang ibu, bukan ilmuwan."Leo, jika kau menonton ini, maka semua telah sampai pada ujungnya.""Aku tidak tahu di mana kau sekarang, dan bersama siapa. Tapi jika kau selamat, maka kau telah melakukan hal yang bahkan aku sendiri tak beran

Di rumah batu tua yang telah menjadi tempat berlindung dan pelarian, Elias duduk di teras, mencoret-coret halaman jurnalnya. Ia tak lagi menulis data atau laporan. Hanya puisi-puisi kecil yang ia bagi untuk dirinya dan Mira.Mira muncul dari dalam rumah, mengenakan gaun linen berwarna krem. Rambutnya dibiarkan terurai, mata keemasan itu memancarkan kedamaian yang tak bisa dicuri siapa pun.“Aku baru saja selesai menidurkan anak-anak di kelas sore,” katanya pelan, lalu mendekat dan duduk di pangkuan Elias.Elias menyambutnya dengan pelukan lembut. “Dan sekarang giliranmu untuk ditidurkan?”Mira menggeleng dengan senyum nakal. “Tidak malam ini. Malam ini... aku ingin merasa hidup. Di atas tubuhmu. Dalam diam, dalam nafas, dalam getar.”Ia tak butuh undangan dua kali.Elias mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke kamar tidur yang jendelanya terbuka menghadap ladang anggur. Aroma mawar dan rosemary masuk bersama udara malam, menyelimuti keduanya saat tubuh mereka bersatu dalam tarian t