Semua Bab Cinta Dalam Riuh Salju: Bab 71 - Bab 80

Delapan tahun telah berlalu sejak tangisan pertama Elena memecah malam.Rumah kecil di selatan Italia kini dipenuhi tawa, langkah kecil, dan aroma roti buatan Mira yang selalu tercium sampai ke ladang zaitun.Elena tumbuh menjadi gadis kecil dengan rambut pirang keemasan dan mata biru yang nyaris transparan. Orang-orang di desa menyebutnya “piccola stella” , bintang kecil, karena matanya berkilau seperti laut yang memantulkan matahari.Ia gemar berlari tanpa alas kaki di antara kebun zaitun, membawa buku lusuh peninggalan ayahnya, bertanya tentang hal-hal yang bahkan tak terpikir oleh orang dewasa.“Papa,” katanya suatu pagi, “kenapa burung bisa pulang meski langitnya tak punya tanda?”Elias tersenyum dari bangku kayu tempat ia menulis. “Karena hati mereka mengingat jalan pulang, nak. Sama seperti manusia.”Elena memiringkan kepala. “Lalu kalau suatu hari aku lupa jalan pulang?”Ia tertawa kecil dan meraih tangan mungilnya. “Maka aku dan Mama akan menyalakan cahaya di teras, sampai ka

Sejak menemukan logam kecil bersimbol sayap itu, hari-hari Elena tak lagi sama. Ia sering diam di bawah pohon “Luca”, menggambar simbol-simbol aneh tanpa sadar, atau melamun menatap langit sore. Elias dan Mira membiarkannya, meski keduanya menyimpan kekhawatiran yang tak pernah diucap.Kadang saat malam, logam itu berpendar samar dari laci kecil tempat Elena menyimpannya. Tak ada yang tahu, setiap kali itu terjadi, sebuah sistem di belahan dunia lain aktif sejenak, mengirimkan sinyal singkat ke pusat data yang telah lama terkubur.Namun Elena hanya menganggapnya keajaiban kecil, miliknya sendiri.***Elena tumbuh menjadi anak yang cerdas dan peka. Ia menyukai buku-buku sains, tetapi juga pandai membaca wajah manusia. Ia bisa tahu kapan ibunya lelah, atau kapan ayahnya berbohong bahwa “semuanya baik-baik saja.”Suatu malam, ia mendengar suara samar dari jendela. Suara seperti dengungan listrik. Saat ia mendekat, sekelebat cahaya biru muncul di udara, membentuk garis melengkung di udara

 Langit Berlin kelabu pagi itu, dan embun tipis masih menempel di jendela laboratorium. Lampu putih dingin menerangi ruangan luas yang dipenuhi tabung reaksi, monitor, dan alat pemindai DNA. Di antara deretan meja, Elena Rosenthal duduk dengan jas lab putih kebesaran, rambut pirangnya diikat asal, keningnya berkerut menatap layar. Axel berdiri di seberang ruangan, memperhatikan dari balik kaca observasi. Sudah seminggu sejak pertemuan pertama mereka di aula kampus, dan kini ia menjadi asisten penelitian Elena, atau setidaknya, begitu judul formal yang ia gunakan agar bisa mengawasinya dari dekat. Namun, Elena bukan gadis yang mudah dikendalikan. Ia terlalu pintar, terlalu cepat, terlalu berani. 

Sudah hampir tiga minggu sejak malam ketika Elena dan Axel pertama kali masuk ke laboratorium bawah tanah. Sejak itu, mereka hidup di antara dua dunia—mahasiswa biasa di siang hari, dan penyelidik rahasia di malam hari. Setiap malam, lampu kamar Axel menyala hingga dini hari, penuh dengan layar holografik, data yang terurai, dan kode yang mereka coba pecahkan.Elena menatap layar di depannya. Sebuah berkas tua bertanda AETHERIS-PRIME/ARCHIVE-01 kini terbuka sebagian. Setiap halaman menampilkan catatan eksperimen biologis yang lebih seperti mimpi buruk daripada sains. Ada diagram otak manusia, sambungan saraf buatan, bahkan peta genetik yang menyinggung kata “kesadaran transenden.”“Axel,” suara Elena pelan tapi tegas, “ini bukan penelitian medis. Ini proyek untuk memanipulasi k

 Musim semi datang ke Berlin dengan lembut. Pohon-pohon di sekitar kampus mulai bersemi, dan udara membawa aroma bunga kastanye yang segar. Elena berjalan di trotoar sambil memegang buku catatannya, sesekali melirik ke arah Axel yang berjalan di sampingnya. Sejak malam hujan itu, sesuatu di antara mereka berubah, tidak diucapkan, tapi terasa jelas. Mereka masih seperti dulu: belajar bersama, bertukar pikiran, saling berdebat. Namun kini, setiap tatapan mata terasa lebih lama, setiap sentuhan kecil lebih bermakna. Seperti ada simfoni sunyi di antara mereka, yang hanya mereka berdua bisa dengar. “Jadi, kau akan tetap pura-pura normal seperti ini?” tanya Elena tiba-tiba, mencoba menutupi gugupnya dengan nada sinis. Axel tersenyum tanpa menoleh. “Aku tidak berpura-pura. Aku hanya menikma