Semua Bab Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!: Bab 51 - Bab 60

Ruang bawah tanah, tahanan Kekaisaran.Bau darah, besi karat, dan kelembapan menyatu seperti kabut yang tak pernah menguap. Api dari tungku kecil di sudut ruangan menyala redup, melemparkan bayangan bergerak di dinding batu yang dingin.Di tengah ruangan, seorang pria tergantung pada rantai besi yang menjulur dari langit-langit rendah. Tubuhnya setengah telanjang, dipenuhi luka cambukan, memar, dan darah kering yang menempel di kulitnya seperti kerak luka lama.Shen Kuo, yang biasanya dikenal sebagai bayangan tercepat dan paling mematikan dari pihak Li Jiancheng, kini nyaris tak dikenali lagi.Tepat di depannya, duduk seorang pria dengan tubuh tegap dan sorot mata tenang yang membunuh lebih cepat dari pedang. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya bersih, namun tak satu pun guratannya menyiratkan iba.Dialah Jenderal Shang Que!Duduk tenang di kursi kayu tua, kakinya disilangkan, jari-jarinya bermain di gagang pedang yang masih terbungkus di wadahnya.“Siram lagi,“ perintahnya ta

Angin sore mulai turun, menyusup di antara dahan-dahan tua yang bergoyang perlahan. Asap tipis masih mengepul dari bekas pertempuran di dalam rumah, menyisakan bau darah dan kayu terbakar samar.Namun kini sunyi.Tak ada suara langkah, tak ada jeritan atau denting senjata. Hanya daun-daun persik yang gugur perlahan, jatuh menimpa tubuh-tubuh pembunuh berpakaian hitam yang kini tergeletak tak bernyawa di lantai kayu yang dingin.Di ambang pintu belakang rumah tua itu, dua sosok berpakaian hitam lainnya muncul. Gerak langkah mereka ringan dan terlatih. Wajah mereka tertutup cadar yang sama. Mata mereka tajam, awas, menyapu setiap sudut rumah tua yang remuk.Salah satunya berlutut, menekan dua jari ke leher jenazah terdekat. Tak ada denyut. Dia menggeleng pelan pada rekannya.Tanpa kata, keduanya bergerak. Langkah mereka senyap namun cepat. Mereka menyusuri ruangan demi ruangan, menendang pintu-pintu yang tak terkunci, menyingkap tirai, membuka peti, bahkan mengintip ke balik papan lanta

Chun Mei terdiam. Tangisnya mereda pelan, berganti tatapan terkejut.Liu Ning mengeluarkan sesuatu dari balik lengan bajunya, itu sebuah gulungan kecil bersegel kain putih, disematkan tusuk rambut kayu sederhana yang Chun Mei kenal betul. Benda itu dulu sering dipakai Xiaoping saat tidur, karena katanya, “Kalau giok terlalu berat, kepala bisa sakit.”Dengan tangan bergetar, Liu Ning berjalan mendekat, lalu berlutut, menyodorkan gulungan itu menggunakan dua tangan.“Kak Xiaoping menitipkan ini. Beliau bilang... hanya boleh diberikan langsung kepada Nyonya, jika beliau tidak sempat kembali.”Chun Mei menatap benda itu lama. Seolah dunia mendadak membisu. Melalui tangan yang gemetar, dia mengambilnya pelan-pelan, merasakan serat kainnya, kehangatan samar yang seolah masih tertinggal.Perlahan dia membuka segelnya, membentangkan surat itu di pangkuan.Tulisan tangan Xiaoping langsung menyambut matanya. Huruf demi huruf yang begitu dia kenali, miring sedikit ke kanan, dan kadang terlalu ra

Obor di sudut ruangan masih menyala, cahayanya kecil dan bergoyang tak stabil, seolah ikut gemetar menghadapi aroma kematian yang mengendap di udara.Langkah kaki Jenderal Shang Que menggema di lorong sempit menuju sel tahanan. Dua prajurit pengawal berdiri kaku di sisi pintu besi yang separuh terbuka. Begitu dia tiba, keduanya menunduk dan membuka jalan.Di dalam, Shen Kuo masih tergantung dengan rantai pada kedua pergelangan tangannya. Tubuhnya dipenuhi luka sobek, memar dan goresan yang tak lagi bisa dibedakan mana yang lama dan mana yang baru. Darah mengering menempel di kulitnya seperti kerak tanah.Tangannya terkulai, tetapi jari telunjuk dan jari tengahnya terus meneteskan darah segar. Suara tik... tik... dari tetesan itu terdengar lebih jelas dibandingkan napasnya yang melemah.Jenderal Shang Que mendekat perlahan. Bau anyir langsung menghantam hidungnya, tetapi raut wajahnya tak berubah. Matanya menatap lurus ke arah lelaki yang nyaris tinggal tulang dan dendam itu.“Shen Kuo

"Siapa yang mengirim ini?" tanyanya tanpa menoleh.Seorang pelayan menunduk. "Itu hadiah dari Selir Chun."Selir Agung terdiam sejenak. Wajahnya yang dipenuhi kerutan bergerak sedikit, seperti ada senyum sinis yang hanya setengah muncul. Namun, dia tak berkata apa-apa. Tangannya membuka kotak itu perlahan.Begitu tutupnya terangkat, aroma lembut menguar dari dalam.Wangi manis menyeruak. Tidak tajam, tidak murahan, tapi menggoda dengan cara yang licik. Wangi itu seperti bisikan halus di telinga, memanggil untuk dicium lebih dekat. Membuat hidung ingin mencari asalnya lagi dan lagi.Selir Agung mengangkat botol kecil berleher ramping yang tersimpan di dalam kotak. Dia membawanya ke dekat hidung, menghirup perlahan, lalu menutup matanya sejenak.“…Luar biasa,” gumamnya, “jenis wewangian apa ini?"Pelayan di sampingnya juga tampak penasaran. "Wewangian ini sepertinya buatan tangan, bukan dari pasar biasa."Selir Agung membuka botol itu sekali lagi, menghirupnya lebih dalam. Napasnya tert