All Chapters of DIJODOHKAN MAMA: Chapter 21 - Chapter 30

Reza keluar duluan, langsung membuka percakapan serius dengan Ardian soal berita terbaru. “Pa! Lihat nih berita terbaru, katanya ada kemungkinan harga kopi naik gara-gara badai di Brasil!”Ardian langsung menoleh dengan wajah serius. “Masa? Coba kasih lihat artikelnya!”Reza menyerahkan ponsel, padahal di tab sebelah sudah siap—berita panjang tentang cuaca dan harga bahan pokok. Papa pun fokus membaca sambil bergumam, “Wah, gawat nih kalau kopi naik…” Suaranya dibuat sedikit lebih berat, seolah ia pembicara di seminar. Sementara itu, Reza secara halus menyerahkan ponsel ke Indri, menampilkan album berisi foto bunga-bunga yang ia download dari internet beberapa menit lalu. “Ma, tadi aku lihat taman di komplek, ada bunga ungu yang mirip banget sama yang Mama suka! Nih, aku fotoin.”Indri langsung meraih ponselnya. “Mana? Eh, cantik sekali! Ini kayak bunga lavender tapi bukan, ya?”Reza mengangguk-angguk, “Iya, iya… coba lihat yang ini, Ma…” Ia membuka album ponsel yang penuh foto bung

Suasana ruang praktek siang itu cukup tenang. Ziva memanggil nama pasien berikutnya sambil menatap lembar rekam medis.“Bianca” katanya, datar seperti biasa.Pintu terbuka, dan seorang wanita berpenampilan rapi dengan blazer hitam masuk. Begitu Ziva mengangkat kepala, ia langsung membeku.“Lo…”“ZIVA?!”Suara mereka hampir barengan.Bianca langsung maju, melabrak jarak, dan memeluk Ziva tanpa peduli jas putih yang dikenakannya.“Gila, gue pikir lo masih di Jepang atau sibuk skripsian abadi!” Bianca dan ziva sepupu yang sangat akur, itu karna mereka seumuran juga satu sekolah.“Ya ampun, lo masih sama aja, Bi. Ributnya nggak berubah.” Ziva terkekeh, tapi tetap menunjuk kursi pasien. “Duduk, biar gue periksa dulu.”Bianca menutup pintu sambil tersenyum lebar. “Zivaaa… ini gila sih. Lo sekarang beneran dokter? Gue masih inget lo yang dulu suka ngantuk pas jam pelajaran Biologi.”Ziva terkekeh. "Lo sekarang kerja dimana?"“Gue sekarang di majalah lifestyle,” kata Bianca bangga.Bianca. “L

Dio baru saja keluar dari rumah sakit setelah shift panjang. Langkahnya santai, matanya setengah sayu, tapi tiba-tiba ia terhenti saat melihat sosok wanita berdiri di dekat mobilnya."Dokter Dio, ya?"Langkah Dio terhenti. Ia menoleh perlahan, dan matanya langsung menangkap sosok seorang wanita berdiri di ujung lorong. Rambut panjangnya tergerai rapi, gaun hitam sederhana namun elegan membalut tubuhnya, dan sorot matanya... entah kenapa terasa menusuk ke dalam hati."Anda siapa?" tanya Dio hati-hati, wanita itu berkerut.Wanita itu berjalan perlahan mendekat, tumit sepatunya berdetak di lantai, menambah suasana yang semakin tegang."Boleh kita bicara di tempat yang lebih tenang?" ucapnya sambil tersenyum tipis.Dio sempat ragu. Instingnya mengatakan wanita ini bukan orang biasa. Namun entah mengapa, ia mengikuti langkah wanita itu menuju ruang tunggu yang kosong.Begitu pintu tertutup, wanita itu berbalik, menatap Dio lekat-lekat."Aku akan langsung pada intinya," katanya pelan. "Kita

Di sepanjang perjalanan, Reza dengan santainya menyalakan radio, lalu sesekali mencuri pandang ke arah Ziva yang sibuk membaca laporan pasien di tabnya.“Kamu tuh, dari kemarin nggak berhenti kerja ya? Bahkan di mobil.” Ziva menjawab tanpa menoleh “Pasienku butuh aku, Reza. Kalau aku lengah sedikit saja, bisa fatal.” “Iya, iya. Aku ngerti. Tapi jangan sampai kamu lupa kalau kamu juga manusia. Harus istirahat.” UcapnyaZiva menoleh sekilas, sedikit terkejut mendengar nada tulus di suara Reza. “Kamu ngomong bijak begini sejak kapan?” Reza menyengir “Sejak punya istri dokter glamor yang keras kepala.”Ziva tidak bisa menahan senyum kecilnya kali ini. Hanya sebentar, lalu kembali menunduk pura-pura sibuk. Sesampainya di depan rumah sakit, Reza memberhentikan mobil dan menoleh padanya.“Aku jemput sore, ya? Jangan kabur naik taksi.” Ziva menghela napas “Kalau aku sibuk?” “Aku tunggu. Kamu sibuk, aku bisa tidur di mobil. Deal?” Ziva menatapnya sebentar, lalu turun dari mobil tanpa m

Langkah Dio berat saat keluar dari rumah sakit. Dadanya sesak, seolah ada batu besar menekan di dalam. Ucapan Ziva terus berputar di kepalanya.“Maaf, Dio… Aku nggak bisa. Perasaanku bukan untukmu.”Ia menunduk, menatap kosong ke tanah. “Kenapa… selalu bukan aku? Dari dulu sampai sekarang, selalu bukan aku…”Suara hatinya terdengar getir. Dunia seakan mengejeknya.Di parkiran yang mulai sepi, Dio bersandar ke mobilnya. Tangannya menutupi wajah. Matanya panas, bukan karena tangis, tapi karena campuran kecewa, sakit hati, dan amarah.Tiba-tiba, suara sepatu hak tinggi memecah kesunyian. Tok… tok… tok…Dio mendongak. Seorang wanita anggun dalam balutan gaun hitam berdiri tidak jauh darinya. Senyum samar terpampang di bibirnya.“Sepertinya, penolakan itu cukup menyakitkan ya, Dokter Dio”Dio mendengus, matanya menyipit. “Alisya.”Alisya melangkah mendekat perlahan. “Aku sudah bilang sebelumnya, kita bisa bekerja sama. Aku hanya menunggu jawabanmu. Dan sekarang…” ia menatap Dio dengan taja