Pria Bayaranku Ternyata Penguasa No. 1 のすべてのチャプター: チャプター 61 - チャプター 70

Avenna melirik sekilas pada pria di sampingnya. Suaranya keluar tenang, tapi jelas ada nada cemas yang ditahannya.“Leander… kau sudah melihat isi dokumen itu?”Leander menggeleng pelan, tatapannya tetap dingin tetapi terkendali.“Belum. Aku ingin melihatnya bersamaan dengan kalian,” jawabnya singkat, seakan ia sendiri menahan gejolak dalam dirinya.Avenna hanya mengangguk, mencoba menekan rasa ingin tahunya. Jari-jarinya yang terlipat di pangkuan saling menggenggam erat, seakan itu bisa membantu menenangkan debar jantungnya. Ia menunggu.Lima belas menit terasa lebih panjang dari biasanya. Hening menggantung, hanya sesekali terdengar suara langkah dari luar ruangan. Ketika sosok remaja dengan wajah malas masuk dengan langkah gontai. Raina. Matanya menyorot tajam, tapi bibirnya membentuk garis datar tanpa emosi.“Jadi, apa hasilnya?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Leander tidak menjawab. Ia hanya menatap dokter yang berdiri di sisi meja. Map berpindah dari tangannya ke tangan p

“Apa nama panti asuhan tempat mereka mengangkatmu?” suara Leander meluncur tajam, nyaris seperti perintah, bukan pertanyaan.Avenna terdiam sejenak, jantungnya berdegup kencang. Ia menggigit bibir sebelum akhirnya menjawab, agak ragu.“Ehm… White Little Lilly, di sini. Di Toronto, tepatnya di pesisir selatan."Leander mencondongkan tubuh sedikit, sorot matanya menuntut lebih.“Tapi…” Avenna menelan ludah, suaranya menurun, “saat aku mencari asal-usulku, panti asuhan itu… sudah tidak ada lagi. Menurut R, panti itu terbakar habis. Kebakaran terjadi sebulan setelah aku diadopsi. Semua dokumen, catatan, bahkan benda-benda kecil tentangku… lenyap.”Suara Avenna bergetar tipis di akhir kalimatnya.Ruangan itu membeku. Leander tidak langsung menanggapi. Hanya guratan dalam di dahinya yang semakin jelas, alisnya berkerut tajam. Ia menatap lantai beberapa detik, seakan menghitung sesuatu dalam pikirannya.Rahangnya mengeras, seolah ada kesimpulan yang hampir ia temukan tapi enggan diucapkan.“

Avenna menempel rapuh di dada bidang Leander, selimut tipis membungkus tubuh mereka yang masih telanjang dari sisa malam yang bergolak. Kehangatan kulit pria itu membuatnya merasa aman, meski sorot mata Leander sama sekali tidak menampilkan ketenangan. “Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?” suara Avenna pelan, penuh godaan, seolah ingin menyingkap isi hati pria yang masih enggan bicara. Leander menarik napas panjang, rahangnya mengeras. “Aku masih belum rela kau bertemu dengan dia.” Kening Avenna berkerut, matanya menatap penuh tanya. “Dia? Kakekku?” Leander menunduk, menatapnya dengan sorot mata tajam yang menusuk. Sekejap saja, Avenna langsung tahu siapa yang dimaksud. “Oh…” bibirnya melengkung nakal. “Randy.” Katanya dengan nada tegas, seolah sengaja memancing bara cemburu di mata pria itu. Benar saja, sorot Leander semakin dingin, rahangnya menegang. Ada gerakan kecil dari tubuhnya, seperti hendak bangkit meninggalkan ranjang. “Jangan pergi…” Avenna cepat menahan, kedua l

Randy langsung menerobos masuk ke ruang perawatan. Bau obat-obatan bercampur antiseptik menyergapnya, dingin dan menusuk. Di atas ranjang, Wendy terbaring pucat. Saat pria itu mendekat, matanya perlahan terbuka, sorotnya seketika berbinar, seakan menahan rindu yang menggelora seminggu penuh. “Kakak, kau datang?” Suaranya rapuh, tapi ada nada ceria yang memaksa keluar dari bibirnya. Sudah terlalu lama dia menunggu, bahkan panggilannya tak pernah diangkat. Randy berdiri di sisi ranjang, wajahnya datar. “Ada apa dengan kandunganmu?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling. Suaranya dingin, tanpa bekas kelembutan yang dulu begitu Wendy kenal. “Dokter bilang aku hanya terlalu stres. Ibu hamil tidak boleh stres. Mungkin aku hanya rindu dengan Kakak,” jawab Wendy sambil melirik ke arah Romero yang berdiri di belakang Randy, dengan aura berat yang membuat udara semakin menekan. Tarikan napas Randy terdengar panjang. Matanya menyipit, nada suaranya berubah menjadi tajam. “Kenapa kau selemah ini?

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Leander, suaranya bergetar, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan semangat sekaligus rasa khawatir. Ada bahagia yang merayap di wajahnya, samar tetapi jelas, seolah baru saja menemukan harta karun yang selama ini hilang. Genggaman tangannya pada Avenna semakin erat, nyaris membuat jari-jarinya memutih. Dokter di hadapan mereka melirik catatan medis sebentar sebelum menutup mapnya. Suaranya tenang, tetapi mengandung peringatan tegas. “Karena usia kehamilannya diperkirakan baru enam sampai delapan minggu, yang paling penting adalah menjaga kondisi ibu. Jangan terlalu lelah, jangan stres berlebihan, istirahat yang cukup. Untuk makanan, perbanyak sayur hijau, buah segar, protein sehat seperti ikan yang matang sempurna, daging tanpa lemak, juga kacang-kacangan. Hindari kopi, alkohol, makanan mentah seperti sashimi atau steak setengah matang, juga keju lunak yang belum dipasteurisasi.” Dokter itu menarik napas sejanak. Lalu memandangi kedu