Gerbang itu berdiri di hadapan mereka seperti luka raksasa yang digambar di udara. Nyala merah dan biru bercampur, berputar di tepinya, sementara di dalamnya hanya ada kegelapan yang berdenyut, seolah hidup. Dari dalam, suara berat bergema, seperti ribuan api yang bicara serempak. “Silvanna… waktumu tiba. Masuklah.” Alura berdiri tegak, meski lututnya nyaris gemetar. Angin panas dari gerbang menyapu wajahnya, membawa aroma logam dan abu. Nafasnya tercekat, tapi matanya lurus, tidak goyah. Rafael berdiri di sisi kanan, pedangnya terangkat, tajam menatap kegelapan. Arga di sisi kiri, api hitam di tangannya bergetar, wajahnya penuh kewaspadaan. Namun, tidak ada yang melangkah duluan. Alura menutup mata sejenak. Di balik kelopaknya, bisikan itu muncul lagi, lebih lembut tapi jauh lebih menusuk. Kau adalah kami. Kau adalah Silvanna. Tanpa dirimu, dunia tidak bisa terbuka. Masuklah, dan kau akan mengingat segalanya. Ia membuka matanya. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada ketegangan
Last Updated : 2025-10-03 Read more