All Chapters of Lepaskan Aku, Om: Chapter 41 - Chapter 50

Bab 40Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya benar-benar hidup di antara dua dunia yang bertolak belakang—sampai aku bertemu Ray.Dia bisa jadi malaikat di pagi hari, mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, membelai kepalaku lembut, dan menatapku seolah aku adalah alasan ia masih bernapas. Tapi, di malam hari, dia bisa berubah menjadi monster. Tatapannya yang sama bisa berubah tajam, suaranya dingin, dan sentuhannya tidak lagi terasa seperti kasih sayang—melainkan rantai besi yang mengekangku.Aku mulai menyadari sesuatu.Bukan hanya sifatnya yang berubah-ubah. Seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak bisa ia kendalikan. Seolah ada tombol tersembunyi, dan sekali tersentuh, ia bukan lagi Ray yang sama.Malam itu, saat semua cahaya redup dan kamar terasa lebih dingin dari biasanya, aku mendengar napasnya memburu. Tangannya menggenggam pergelangan tanganku terlalu erat, sampai aku hampir tidak bisa bergerak.“Ray…” suaraku bergetar, “kamu sakit, ya?”Ia menoleh cepat, se

Bab 43Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Rasanya napasku masih sesak, dadaku sakit, tubuhku penuh lebam. Semalam bukan hanya mimpi buruk, melainkan kenyataan yang akan selalu meninggalkan bekas di tubuh maupun jiwaku.Aku ingin menuliskan semua ini, agar aku tidak lupa. Agar aku bisa tetap waras, meski sedikit. Karena jika aku hanya menyimpannya dalam hati, mungkin aku akan benar-benar hancur.Yang ku ingat hari itu dimulai dengan tenang. Pagi yang sama, rutinitas yang sama. Ray duduk di ruang tamu dengan koran, seperti seorang pria normal yang hidupnya stabil dan berwibawa. Tidak ada tanda-tanda bahwa beberapa jam kemudian, wajahnya akan berubah menjadi sosok monster.“Ayla,” panggilnya saat aku sedang menyiapkan teh. Suaranya terdengar biasa saja. Tidak ada nada marah, tidak ada ancaman. Aku sempat merasa lega.Aku menoleh. “Ya?”“Duduk di sini.” Ia menepuk kursi di depannya.Aku menurut. Bagaimana pun, aku tidak punya pilihan.Ray menatapku lama, matanya menyipit seakan sedang

Bab 45. Tangannya masih mencengkeram rambutku dengan kasar, membuat kepalaku terasa seperti ditarik paksa hingga urat leherku hampir putus. Air mataku mengalir deras, menetes ke pipi dan leherku."Aduh... Ray, tolong... sakit..." suaraku tercekat, hampir tidak terdengar.Dia justru menyeringai, wajahnya mendekat begitu dekat hingga aku bisa mencium bau rokok dan alkohol yang menusuk hidung."Kau pikir dengan menamparku kau jadi pemenang, hah?" bisiknya dengan suara rendah yang penuh amarah. "Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri."Aku mencoba meraih tangannya, berusaha melepaskan cengkeraman di rambutku, tapi semakin aku melawan, semakin keras ia menarikku. Kulit kepalaku perih, dadaku sesak."Ray, tolong... lepaskan aku... aku janji gak akan melawan lagi," aku memohon, meski hatiku hancur. Aku membenci diriku sendiri karena harus merendahkan diri di hadapannya, tapi aku tidak tahan lagi dengan rasa sakit ini.Namun Ray justru tertawa kecil. Tawa yang lebih menakutkan dari teriakan.

Bab 46Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Gery barusan. Rasanya seperti belati yang menusuk dada ketika ia bertanya apakah orang tuaku masih hidup. Aku terdiam, mataku kosong, lalu buru-buru menunduk. Aku tidak ingin terlihat rapuh, meski kenyataannya aku sudah hancur berkeping-keping.Bayangan wajah ibu menyelinap ke pikiranku. Senyumnya, tangannya yang selalu mengelus kepalaku saat aku kecil... semua itu begitu jauh sekarang. Aku sudah terlalu lama terpisah darinya, dan aku tidak tahu apakah masih pantas kembali. Bagaimana mungkin aku pulang dengan membawa noda sebesar ini? Apa aku bisa menatap matanya, seakan-akan semua baik-baik saja? Tidak. Aku bukan anaknya yang dulu. Aku hanya sampah.“Aku... gak tahu,” jawabku akhirnya, suaraku serak. “Mungkin mereka masih ada. Tapi... aku gak punya tempat pulang.”Gery menatapku lama, seolah mencoba membaca isi hatiku. Aku buru-buru mengalihkan pandangan. Aku tidak mau tenggelam dalam tatapan itu. Setiap tatapan pria selalu berakhir

Bab 50Aku tidak tahu harus bagaimana menggambarkan perasaanku malam itu.Dada ini penuh sesak, seakan ada beban besar yang menindih, menolak untuk dilepaskan.Rumah ibuku sudah di depan mata. Hanya beberapa langkah lagi. Aku bisa melihat pagar yang sudah berkarat, bisa merasakan dinginnya udara malam yang sama seperti ketika dulu aku pulang larut dari sekolah dan mendapati ibuku menungguku dengan wajah cemas.Tapi malam ini… aku tidak bisa begitu saja mengetuk pintu itu.Gery menahanku.Tangannya mencengkeram lenganku erat, seperti takut kalau aku akan hilang. Tatapannya tegas, bahkan lebih tajam dari biasanya. “Key, jangan dulu. Kita tunggu. Aku lihat-lihat dulu sekitar.”Aku menggeleng keras, air mata jatuh tanpa bisa kucegah.“Ger… itu rumahku. Itu ibuku. Aku gak peduli ada siapa di dalam sana, aku cuma pengen lihat beliau. Tolong… jangan tahan aku.”Dia menggertakkan giginya, jelas-jelas menahan emosi.“Key, kamu gak ngerti. Bahaya. Bisa jadi di dalam sana sudah ada orang Madam