Lahat ng Kabanata ng Jebakan Meluluhkan Hati Pengacara Dingin: Kabanata 191 - Kabanata 200

Pria itu mulai berkeringat tipis di keningnya, helaian rambut yang basah menunduk menutupi bagian tengah alisnya. Di balik alisnya yang tegas, mata hitamnya memancarkan sedikit rasa canggung. Jakunnya bergerak naik turun, suara seraknya mengandung nada penyesalan."Maaf, aku ... nggak bisa menahan diri."Awalnya dia berniat menghentikan diri di batas terakhir, tapi ternyata dia terlalu berekspektasi lebih pada kemampuan kontrolnya."Kamu berengsek!"Kali ini Natalie benar-benar menangis. Air matanya jatuh berderai. Denzel menariknya ke dalam pelukan dan mencium keningnya, lalu berkata dengan suara serak untuk menenangkan, "Kamu lagi di masa aman, nggak akan terjadi apa-apa.""Terus kalau seandainya terjadi gimana?" Mata Natalie basah kuyup, suaranya berat karena isak tangis, "Kamu sengaja, 'kan? Kalian laki-laki memang gitu, demi enaknya sendiri nggak peduli sama perasaan orang. Nanti yang harus aborsi itu aku, kamu cuma pakai celana lalu pergi, terus aku harus gimana?"Begitu mendenga

Natalie merasa malu sekali. Dia menyembunyikan wajah di dada pria itu dan enggan mengangkat kepala. Dengan nada manja dia berkata, "Jangan pura-pura nggak tahu!"Denzel meraih dagunya dengan telapak tangan, lalu mengangkat wajah mungilnya yang sudah memerah dan terus menggoda, "Aku nggak tahu. Coba kamu kasih tahu aku, apa maksudnya?"Natalie menatapnya dengan kesal, mata jernihnya membelalak, "Aku nggak mau bilang!"Takut dia kembali mengeluarkan kata-kata menggoda, Natalie buru-buru mengalihkan topik, "Oh iya, ada rekan kerja yang cukup dekat mau ulang tahun, dia undang aku untuk datang. Menurut kamu, aku kasih hadiah apa yang cocok?"Denzel mengira dia sedang mengisyaratkan agar dirinya yang membelikan hadiah, "Butuh berapa? Seratus juta cukup?"Natalie tertegun. "Hah?" Tak lama kemudian dia sadar, lalu buru-buru berkata, "Aku mau kasih sendiri! Nggak ada maksud nyuruh kamu keluar uang."Namun, Denzel sudah mengambil ponselnya dan mentransfer 100 juta. "Simpan saja gajimu yang nggak

Detak jantung Natalie serasa berhenti sejenak. Spontan dia berkata, "Bukan seperti yang kamu lihat ...."Denzel hanya menatapnya sekilas, tidak mengucapkan sepatah kata pun, lalu masuk ke unitnya.Natalie segera mengikutinya.Di belakang, Hardi yang melihat sendiri bagaimana Natalie panik menjelaskan, menundukkan pandangan dengan sorot mata yang meredup. Bibirnya melengkung tipis membentuk senyum yang penuh ejekan pada dirinya sendiri.Unit 703.Natalie memegang lengan Denzel, suaranya terdengar tergesa-gesa, "Hari ini rekan kerja ulang tahun, Pak Hardi kebanyakan minum, aku cuma mengantarnya pulang. Tapi aku nggak nyangka dia akan .... Kamu percaya aku nggak?""Percaya." Satu kata yang singkat.Natalie sedikit terkejut. "Kamu ... benaran percaya aku?"Denzel mengangguk, wajahnya tetap datar. Dia juga melihat sendiri ekspresi panik Natalie ketika berlari keluar tadi."Kalau kamu percaya, syukurlah."Natalie menghela napas lega. Dia bahkan tidak sadar bahwa sekarang dia mulai peduli pad

Malam itu, keduanya sama-sama sulit tidur.Keesokan paginya sebelum berangkat kerja, Denzel sempat mampir ke unit Natalie. Gadis itu masih terbaring di ranjang dengan membelakangi dirinya. Jelas sekali dia masih marah dan tidak mau menoleh.Denzel menatap wajah sampingnya yang sedikit terlihat, lalu berusaha menahan diri untuk berbicara dengan sabar. "Natalie, kalau Robert sudah memutuskan pergi sendirian, artinya dia memang nggak ingin melibatkanmu.""Kalau kamu tetap nekat ke luar negeri, bukankah itu justru mengkhianati niat baiknya? Satu orang menempuh bahaya saja sudah cukup, kenapa harus ditambah satu orang lagi? Lagian, kamu masih punya orang tua di rumah. Kamu nggak mikirin mereka?"Denzel sudah bicara banyak dan berusaha menjaga nada bicaranya agar tetap lembut. Dia tidak mau mengomentari lebih jauh tentang keputusan Robert berangkat ke luar negeri demi Karina. Namun kalau Natalie ikut-ikutan gegabah, dia sama sekali tidak bisa setuju.Akan tetapi, Natalie menjawab dengan suar

Denzel mendorong pintu apartemen nomor 703. Pandangannya menyapu ruang tamu, tetapi tidak melihat siapa pun. Kemudian, dia melangkah ke kamar tidur. Tempat tidur bernuansa biru putih itu kosong, tidak ada bayangan Natalie.Siang begini dia pergi ke mana?Denzel mengernyit denga nagak kesal, lalu menekan nomor Natalie. Butuh hampir setengah menit sebelum teleponnya diangkat."Kamu ke mana? Cepat pulang.""Denzel, ada hal yang ingin kubicarakan denganmu."Suara Denzel terdengar dingin dan tegas. "Bicarakan di rumah."Setelah menutup telepon, dia duduk di tepi ranjang dengan alis berkerut rapat. Hatinya diliputi kegelisahan yang tak jelas, lalu dia mengambil sebatang rokok dari bungkusnya dan menjepitnya di bibir.Isapan pertama yang dalam, sedikit meredakan rasa kesal itu.Dari sudut matanya, dia tiba-tiba menangkap sekilas warna merah muda di belakang tempat sampah.Dia membungkuk dan mengambilnya, lalu menatap benda di tangannya beberapa detik. Sebuah buku catatan berwarna merah muda y