Semua Bab Enemate, Enemy To Soulmate : Bab 11 - Bab 20

"Jadi itu ... kamu lebih memilih Oom Erhan dibandingkan menjadi istri baik sehari saja?" sindir Xander. "Karena denganmu, aku hanya bisa makan hati!" balas Prudence kesal. "Itu karena kamu tidak bisa move on dari dia!" ucap Xander sambil menunjuk ke Erhan. "Xander, aku dan Pru hanya makan malam sebelum aku kembali ke London. Apa salahnya?" jawab Erhan kalem. "Oom, dia istri aku!" "Tapi dia tetap keponakan Oom. Maaf aku memang tidak mengajak kamu karena pasti suasananya sangat awkward nantinya." Erhan menoleh ke Prudence. "Jika kamu merasa sesak di New York, kamu bisa pergi ke London. Tante Ska akan pameran juga bulan depan di museum London. Pasti mereka akan senang kamu datang, Pru." Prudence tersenyum. "Terima kasih atas tawarannya Oom Erhan. Aku pasti akan ke London usai aku melaksanakan pameran disini." Erhan mengangguk. "Oom tunggu." CEO Burberry itu pun menoleh ke Xander. "Bukan begitu caranya kamu untuk bisa bicara enak dengan Prudence, Xander. Jika seperti i

Prudence terkejut saat seseorang menggenggam tangannya dan menoleh ke arah orang itu. Wajahnya langsung memasang raut malas saat tahu siapa yang menggandeng tangannya. "Maaf." Prudence hanya mendengus. "Tidak tulus!" Xander tersenyum smirk. "Memang tidak. Tapi aku tidak mau kamu pergi sendirian dengan penuh amarah." Prudence menggelengkan kepalanya. "Siapa yang memulai?" Xander hanya mengedikkan bahunya. Prudence memilih tidak berkomentar dan fokus dengan jalan. Pagi ini memang jalanan area perkantoran Manhattan sangat ramai hingga Prudence harus konsentrasi agar tidak tertabrak orang-orang sibuk di jalan. Tiba-tiba dia merasakan tangan Xander merangkul bahunya seolah ingin melindungi dirinya. "Xander ...." "Sudah, kamu diam saja. Aku akan melindungi kamu dari orang-orang yang pada kebelet pup!" jawab Xander cuek membuat Prudence mendelik. "Lho kata Eyang Dewa begitu. Orang yang jalannya keburu-buru itu macam kebelet pup." Prudence menggelengkan kepalanya karen

Xavier dan Sasa menatap putra sulungnya yang datang dengan wajah dingin. Keduanya tahu pernikahan Xander dan Prudence hanya demi formalitas tapi boleh kan mereka berharap bahwa pernikahan terpaksa dua orang itu bisa langgeng seperti kedua orangtuanya."Prudence di studionya?" tanya Sasa. "Iya mama.""Apa kamu lihat isinya?" Xander menggeleng. "Aku tidak diijinkan masuk. Katanya Oom Rodrigo dan Tante Sasha pun tidak pernah masuk kesana." "Mungkin itu memang sanctuary Prudence, Boy. Dia belum bisa mempercayai kamu," ucap Xavier. Xander mengangguk. "Aku istirahat dulu. Besok aku kembali ke apartemen." "Kamu mau langsung berkerja?" tanya Xavier. "Mungkin." Xander pun berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang tidak pernah berubah sejak dia remaja. Di bekas meja belajar yang disulap menjadi meja kerja, disana ada beberapa foto Xander saat masih sekolah hingga kuliah. Bahkan ada foto dia dan Dewa Hadiyanto beberapa bulan sebelum meninggal. Xander mengambil pigura itu d

Xander memegang pelipisnya setelah menyelesaikan program keamanan terbaru untuk sebuah mall di Oslo Norwegia. Pria itu merasa matanya terasa pedas karena terlalu lama di depan layar monitor. "Apakah program keamanan mall Søreg sudah selesai Xander?" tanya Xavier. "Sudah Daddy." "Oh iya. Daddy ada kejutan. Perusahaan kita membutuhkan brand ambassador dan Daddy sudah mendapatkan sosok yang cocok. Kebetulan dia juga mau meskipun bayarannya tidak sesuai standar dia." Xander mengernyitkan dahinya. "Memang siapa?" "Teman sekolah kamu dulu." "Teman aku jaman kapan Dad? SD? Junior? High school?" "SD di Semarang." Xander berusaha mengingat-ingat siapa temannya di Semarang kecuali Prudence. "Model dia sekarang?" tanya Xander. "Iya," senyum Xavier. "Apakah ... Amelie?" tebak Xander karena setahunya cuma Amelie teman ceweknya selain Prudence di SD kota Semarang. "Betul. Dia mau menjadi Brand Ambassador perusahaan kita karena ada kamu sebagai temannya." Xavier menata

Prudence berangkat bersama Asha menuju Broadway untuk menyaksikan cerita dari Mahabarata berjudul 'Savitri'. Prudence bukannya tidak tahu cerita ini tapi dia ingin tahu bagaimana jika dibuat dalam versi bule. Prudence pernah melihat versi cerita drama televisi India dan saat di West End, dengan versi ala Medieval hanya saja bukan Savitri judulnya. "Apa kamu tahu cerita Savitri?" tanya Asha sambil menggandeng tangan Prudence karena mereka berjalan menuju teater yang dekat dengan gedung apartemen mereka. Prudence dan Asha biasa seperti ini karena mereka tidak ada perasaan apapun, hanya sebatas sahabat. Prudence sendiri nyaman bersama dengan Asha karena satu, dia gay. Dua, Asha tidak reseh dan tidak pernah kepo dengan apapun. "Aku pernah membaca dan menonton versi India dan West End di London saat aku liburan. Aku ingin tahu yang versi Broadway. Apakah ikut ala India atau diganti style nya," jawab Prudence. "Tumben kamu tidak bau?" Asha nyengir. "Aku tidak mau kamu pingsan dengan bauk