Rumah Rodrigo dan Prudence Rodrigo menatap wajah cantik putrinya yang terlelap usai acara lomba di sekolahnya tadi. Jujur Rodrigo baru merasakan betapa hebohnya acara perayaan kemerdekaan suatu negara dengan lomba aneh-aneh. Keseruannya memang berbeda dengan kota New York, kota asalnya. "Pru, kalau punya mama lagi dan itu miss Sasa, gimana? Jujur, Papa melihat, bagaimana miss Sasa bisa dekat sama kamu itu ... Dan itu bukan karena sebagai guru saja tapi memang miss Sasa kamu tulus sama kamu." Rodrigo mengelus rambut coklat Prudence. "Papa juga sepertinya jatuh cinta dengan miss Sasa. Cantik, pintar dan ... Menggemaskan." Rodrigo mencium kening Prudence. "Dan ternyata miss Sasa, seiman ya Pru." Pria itu pun berjalan keluar dari kamar putrinya dan menutup pintunya pelan. Rodrigo melihat foto almarhum istrinya yang cantik di meja Konsul. "Sayang, kalau aku menikah lagi, tidak apa-apa ya? Pru juga suka sama gadis itu." Rodrigo mengelus foto istrinya. "Semoga Sasa jadi jodohku ya?
"Ya jelas sebal! Kamu ngomong seenaknya!" ucap Xander sambil cemberut. "Wajar kan aku bilang begitu karena memang tidak ada yang harus diributin kan? Oom Erhan wajar tanya soal kamu. Memang ada yang salah?" tanya Prudence. Xander menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, kita cukup ributnya." Prudence melongo. "Yang bikin ribut siapa?" Xander hanya memasukkan scramble eggs nya ke dalam mulutnya. *** Prudence melanjutkan acara melukisnya di balkon sementara Xander duduk di sebelahnya sambil menikmati minuman. "Aku tahu, aku berharap kamu bisa ikut aku ke Oslo tapi sayangnya, kamu harus bersiap pameran bukan?" ucap Xander. "Iya. Aku memamerkan ada sepuluh lukisan dan aku kurang dua. Ternyata keputusan aku kemari, mendapatkan banyak inspirasi. Jadi aku bisa membuat dua lukisan tersisa." Prudence menjawab pertanyaan Xander sambil terus melukis. "Kenapa kamu memilih aliran realisme?" Prudence tersenyum. "Karena aku suka yang realistis. Aku tidak suka abstrak dan kubis
Prudence menikmati kopinya sembari duduk di kursi balkon kamar hotelnya. Dia memang sudah bangun pagi dan membiarkan Xander masih terlelap diatas kasur. Stockholm sudah masuk musim gugur akhir dan mau masuk musim dingin jadi hawanya terasa menggigit tulang karena suhu yang dibawah dua puluh derajat Celsius. Prudence menghembuskan nafasnya dan tampak mulai berasap. Wanita itu cekikikan dan dia tahu musim dingin mulai hadir. "Sayang, aku tidak bawa peralatan melukis aku jadi aku tidak bisa melukis pemandangan ini." Prudence pun masuk ke dalam untuk mengambil iPad nya. Dia membawa iPad dan pennya kembali ke balkon. Prudence mulai melukis dengan Ipad-nya dan dia pun semakin terhanyut tanpa tahu Xander sudah bangun dan memperhatikan istrinya sibuk melukis."Lukisan kamu bagus," puji Xander sambil menyesap kopinya dan bersandar di kusen pintu. "Terima kasih," jawab Prudence sambil terus melukis. "Apakah kamu akan memindahkan ke atas kanvas nanti?" tanya Xander. "Biasanya begitu. Aku b
Prudence menatap Xander dengan gemas. "Aku tidak cemburu!" jawab Prudence. "Setidaknya kalau mau selingkuh tidak di depan aku!" "Macam kamu? Selingkuh saat aku tidak ada di New York?" balas Xander. "Siapa? Aku dan Asha? Itu bukan selingkuh, Xander! Aku tidak ada perasaan apapun dengan Asha! Begitu juga sebaliknya! Beda kamu dan Amelie!" "Oom Erhan telepon kamu juga aku tidak tahu kan? Dengar Pru, kalau kamu cemburu, ya bilang saja! Aku juga tidak suka kamu pergi dengan Asha! Sekarang siapa yang tidak menghormati pernikahan? Aku atau kamu?" balas Xander. Prudence menggelengkan kepalanya. "I hate you!" "I'm not!" balas Xander. "Up to you anak Viking!" Prudence lalu menuju tempat tidur dan naik ke atasnya. Wanita itu menarik selimutnya dan memberikan punggung ke Xander. "Sangat khas cewek! Kalau kalah debat langsung kabur!" ucap Xander. Diam-diam pria itu tersenyum karena Prudence seperti dulu saat mereka masih baik-baik saja. Sebelum dirinya mengejek Prudence soal
Prudence masuk ke dalam kamar hotel dengan tubuh lelah. Dirinya benar-benar merasa ingin mengistirahatkan otaknya apalagi Prudence mendapatkan banyak pengetahuan baru karena dia berusaha memahami semua isi perusahaan Xander. "Kamu capek ya?" tanya Xander saat melihat Prudence mengambil sebotol air mineral dingin. "Otakku adalah otak seniman bukan otak programer," jawab Prudence sambil minum air mineralnya. Xander tersenyum. "Ternyata kita bisa juga tidak ribut ya sehari." Prudence menyipitkan matanya. "Aku capek jadi aku malas menanggapi ucapan kamu." Wanita itu pun berjalan ke kamar mandi. "Kamu mau kemana?" tanya Xander. "Mandi!" Xander tertawa kecil. Pria itu menoleh saat mendengar ponselnya berbunyi. Dia merasa bingung karena tiba-tiba Amelie menghubungi dirinya. "Ya Ammie?" "Xander. Aku sudah selesaikan semua sesi syuting dan pemotretan untuk komersial kamu," ucap Amelie. "Bagus. Sesuai dengan waktu yang diprediksi.""Bagaimana dengan acara di Stockholm?" tany
"Kan wajar Pru jika kita tidur bersama bukan. Lagipula leher aku bisa tengeng kalau tidur di sofa. Kamu tega?" senyum Xander. Prudence tidak bisa bilang apa-apa karena memang sebenarnya Xander berhak tidur bersamanya karena sudah menikah secara resmi. "Aku mandi dulu, terus kita sarapan, lalu kamu temani aku di acara IT. Biar kamu tahu bagaimana sebenarnya pekerjaan aku." Xander meletakan cangkir kopinya dan berjalan melewati Prudence. Tanpa diduga, pria itu mencium pipi istrinya dan Prudence memekik kaget namun Xander sudah masuk ke dalam kamar mandi. "Anak Viking Sialaaaaannnn!" teriak Prudence kesal. *** Prudence sarapan sambil cemberut karena Xander mencuri ciuman di pipinya. Tapi entah kenapa, dia merasa ini seperti Xander yang dulu. Xander yang usil. Meskipun begitu, Prudence masih tetap tidak percaya ... belum percaya seratus persen dengan Xander. Bisa saja kan dia begitu karena kena sambet arwah kamar hotel mereka. "Kamu marah?" tanya Xander ke Prudence yang makan d