Ucapan Leo terlalu melompat, membuat Adeline sempat terdiam tak mengerti. Ia mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”“Semalam saat terjadi insiden,” Leo mengucapkan setiap kata dengan jelas, “telepon pertama yang kau hubungi adalah Ken, bukan aku.”Adeline kembali berkerut, merasa sang “raja cemburu” ini kambuh lagi. Ia teringat situasi semalam dan menjawab jujur, “Waktu itu mendesak, aku asal menekan nomor di daftar kontak. Bukan karena sengaja ingin menelponnya.”Alasan itu terdengar cukup lemah.“Tinggalkan Ken. Putuskan semua urusan, semua proyek, seluruh pekerjaannya,” ucap Leo dengan sorot mata sedingin malam.Adeline mendongak menatapnya, menolak tanpa ragu, “Itu mustahil.”“Kenapa?” dahi Leo berkerut rapat. “Karena dia memberimu syarat yang lebih baik? Atau karena…”“Karena itu pekerjaan yang kudapat dengan kemampuan sendiri!” Adeline memotong ucapannya. “Leo, kalau kau benar-benar menghormatiku, jangan campuri pilihanku dalam berkarier.”Cahaya di mata Leo meredup. Ia mengulurkan
Magbasa pa