Semua Bab Titik Nadir Sang Pendosa: Bab 141 - Bab 150

“Ndra? Ndra?” Sahrul yang sedang berusaha melepaskan sabuk pengaman mengguncang tubuh Indra. Pick up yang mereka tumpangi tersangkut di semak belukar sehingga tidak terjatuh terlalu dalam. Lelaki itu menghela napas lega melihat Indra yang mengeluh pelan memegangi kepala. Dia juga merasa pusing, tapi mereka harus segera keluar dari sana.“Kita naik ke atas, nanti telepon teman-teman, minta bantuan agar bisa menarik mobil ke atas.” Sahrul keluar dari mobil. Beruntung mereka tidak mengalami luka karena tidak terjadi benturan berarti. Namun, kopi yang mereka bawah tumpah ke jurang yang menganga di bawa sana. Sahrul mengeluh pelan mengingat puluhan juta melayang karena musibah hari ini. Namun, dia memilih bungkam, tak hendak membahasnya sekarang.“Rul? Aku pulang duluan. Kamu tunggu mobil disini, teman-teman sudah dalam perjalanan. Paling nanti minta bantuan warga untuk menarik mobil ke atas sini.” Indra duduk di samping Indra yang termenung menatap pick up di bawah sana. Lelaki itu tahu b

Setahun berlalu tanpa terasa. Ratusan hari terlewati begitu saja. Aini sudah mulai bangkit dari keterpurukan. Dia sempat mengurung diri di dalam rumah, tak berani bertemu dengan siapa-siapa. Dia juga tidak mengizinkan Indra datang untuk menemui Arjun karena tidak mau gunjingan akan semakin menjadi nantinya.Setengah tahun mengurung diri, Aini akhirnya menemui psikolog untuk berkonsultasi. Dia ingin melangkah ke depan, tapi juga takut dengan banyaknya cercaan. Berbulan-bulan dia menjalani pengobatan karena kekhawatiran yang berlebihan membuatnya takut melakukan apapun. Hal itu membuatnya menjadi terisolasi dari dunia luar.Tak mudah baginya berdamai dengan semua. Kehilangan orang yang dia cinta saat sedang hamil. Lalu, menikah dengan Indra juga tidak mudah. Bukan inginnya menikah dengan lelaki itu. Bukan hanya Indra yang terluka dan tersiksa karena pernikahan mereka. Aini juga. Namun, seperti Indra yang tak punya pilihan karena tertekan keadaan. Begitu juga dengan Aini yang saat itu be

Rintik hujan terus membasahi bumi. Sejak malam tadi, hujan seakan enggan berhenti. Namun, semua itu tidak menghentikan langkah anak manusia menuju masjid untuk melaksanakan salat Idul Fitri, setelah sebulan lamanya menunaikan ibadah puasa. Kalimat takbir terdengar sahut-menyahut sejak lepas Subuh tadi. Seolah beriringan dengan rinai hujan yang kadang menderas untuk sesaat kemudian sedikit mereda.Indra menyetrika baju koko putih yang akan dia kenakan untuk ke masjid. Sejak tadi, kepalanya benar-benar bising sekali. Ini lebaran pertamanya seorang diri setelah kematian Rida beberapa bulan yang lalu. Perasaan asing dan kesepian itu membuatnya tidak nyaman. Kesendirian membuat kepala Indra sibuk berkelana ke masa lalu, saat-saat ketika dia masih bersama dengan orang-orang terkasihnya."Selamat lebaran, Ibu, Bapak, Bang Irwan. Semoga disana kalian sedang bersama, menikmati ketupat dan rendang yang dimasak oleh Ibu." Indra menghela napas panjang. Dia meletakkan setrikaan dan duduk menatap f

“Empat bulanan lagi genap tiga tahun, Nek.” Naura meringis saat merasakan tangan Nenek Sau menekan sedikit kencang satu titik di perutnya. “Kami sudah mengunjungi beberapa dokter, semuanya mengatakan kami baik-baik saja. Semua sehat. Kami juga sudah mencoba program kehamilan, cuma belum ada yang berhasil. Makanya ini mencoba cara tradisional. Siapa tahu jalannya dari sini. Rezeki ‘kan harus dijemput dan diusahakan.”“Betul … betul ….” Nenek Sau mengangguk setuju. Wanita yang usianya sudah kepala tujuh itu berdehem pelan setelah tidak sampai lima menit mer.ba perut Naura. Dia meminta Naura memakai bajunya kembali. Dia bisa melihat raut keheranan dari ibu dan anak yang duduk di hadapannya karena biasanya sesi urut ini bisa sampai satu jam-an.“Perutmu tidak ada masalah, Nau. Peranakan atau r.himmu juga posisinya bagus.” Nenek Sau menatap Naura. Dia menghela napas panjang dan memegang tangan Naura sebelum melanjutkan bicara. “Nenek mau bertanya, tapi maaf kalau membuat tersinggung. Kamu

“Ayo tidur.” Fatih meraih tangan Naura dan mengajaknya berbaring bersama. Bukan dia tidak tahu kalau Naura dan mertuanya bertangisan di teras rumah tadi. Namun, Fatih memilih tidak menanyakan apapun perihal kenapa Naura menangis setelah urut di Nenek Sau. Lelaki itu memutuskan menunggu sampai Naura merasa nyaman untuk membicarakan semua. Walau sebenarnya, Fatih juga cukup penasaran kenapa Naura jadi seperti ini.Keesokan harinya, di tempat berbeda. Indra mengeluh pelan karena gerimis belum juga berhenti. Sejak subuh tadi, rinai hujan setia membungkus desa. Sampai hampir jam tujuh, rintik masih belum juga reda malah sesekali menderas dan kembali gerimis lagi. Udara dingin membuat Indra merapatkan baju hangat yang dia kenakan.Lelaki itu menyesap habis kopinya yang tinggal seperempat gelas. Dari jendela, dia bisa melihat jalanan di luar sana masih lengang. Rumah-rumah tetangga pun masih terlihat sepi, belum ada aktivitas akan berangkat ke pehumaan seperti biasa. Itu artinya, hari ini di